Ijtihad Sumber Kajian Islam
Nama : Achmad Tohari
Nim : E91217027
Matkul : Pengantar Studi Islam
Prodi : Aqidah Filsafat Islam
SUMBER KAJIAN ISLAM (IJTIHAD)
Ijtihad
Ijtidad berasal dari kata jahada, yang secara etimologis berarti mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk mendapatkan sesuatu yang sulit atau yang ingin dicapainya (badzlu al-juhdi li istinbat al-ahkam min al-nass/mencurahkan segala kemampuan untuk merumuskan sebuah hukum dari teks wahyu).
Dapat juga dipahami bahwa ijtihad adalah upaya untuk merumuskan sebuah hukum suatu permasalahan yang tidak ada teksnya. Dengan demikian ijtihad itu berketerkaitan dengan orang-orang ahli fiqih, yang bertujuan untuk mengungkap hukum syariat yang hasilnya adalah dhanni (fiqih).
Pengetahuan yang dirumuskan dari hasil ijtihad adalah sebuah pendapat dari orang-orang ahli fiqih tersebut. Ada beberapa umat islam yang menolak ijtihad. Mereka menyatakan pentingnya taqlid. Alasanya adalah karena pelik dan musykilnya menarik peraturan-peraturan dari al-Qur’an dan Hadits. Hanya orang-orang istimewa yang mampu melakukan hal itu. Ijtihad hanya dilakukan oleh generasi terbaik. Maka mengikuti pendapat para imam 4 madzhab itu jalan terbaik karena pendapat mereka dibangun di atas al-Qur’an dan Hadits.
Dalam tradisi Sunni muncul mujtahid ternama seperti Abu Hanifah di Kufah, yang dikenal dengan ahl al-ra’yi. Malik bin Anas di Madinah, yang dikenal dengan ahl al Hadits. Imam syafi’I di Baghdad yang dikenal dengan pendiri aliran moderat
(al-idiyulujiyyah al-wasathiyyah), dan konservatisme Malik bin Anas. Ahmad bin Hanbal di Baghdad yang dikenal dengan ahl al-Hadits namun lebih ortodok. Dengan demikian penjelasan di atas bahwa kajian mereka itu melahirkan fiqih. Maka fiqih tidak sama dengan syariah. Syariah adalah wahyu (al-Qur’an dan Sunnah). Syariat iu adalah sebuah aturan yang sudah dibuat oleh Allah melalui AlQur’an dan Hadits Nabi, dan manusia tidak memiliki hak untuk merubah nya. Sedangkan fiqih adalah suatu pemahaman manusia terhadap Syari’at, atau aktivitas keilmuan manusia. Dengan demikian fiqih adalah mengungkap apa yang ada dalam pengertian Syariat, sehingga hasilnya sangat beragam.
Metode dan Syarat Ijtihad
Untuk melakukan Ijtihad diperlukan beberapa syarat agar tidak terjadi ijtihad yang tidak baik atau melenceng dari ajaran agama islam. Diantara nya adalah:
Menguasai bahasa Arab dengan segala aspek nya.
Menguasai ilmu al-Qur’an dan tafsirnya.
Menguasai ilmu Hadits dan pemahaman tentang Hadits.
Menguasai ilmu ushul fiqih sebagai sarana melakukan ijtihad.
Menguasai muwaqif al-ijma (beberapa hasil ijma).
Menguasai ilal al hokum (alasan-alasan dari dirumuskanya sebuah hukum).
Penguasaaan setiap mujtahid terhadap ilmu di atas tidak sama. Oleh karena itu ada beberapa tingkatan kapasitas atau kualitas mujtahid :
Maujtahid al mustaqil, adalah mujtahid yang memiliki kemampuan untuk menggali hukum secara langsung dari sumbernya (al-Qur’an dan Sunnah).
Mujtahid al-muntasib, adalah mujtahid yang merujuk pada metode atau ketentuan dari mujtahid sebelumnya.
Mujtahid fi al-madzhab, adalah mujtahid yang terikat dengan imam mazhab baik dalam urusan furu’iyat maupun ushul.
Mujahid murajih, adalah mujtahid yang membandingkan antara pendapat satu mazhab dengan mazhab lainya untuk diambil salah satu yang menurutnya terbaik.
Jika diamati, maka ditemukan analisa bahwa para fiqih, sebagai individu, tidak berhadapan sendirian dan langsung dengan wahyu, tetapi melalui tradisi (al-‘urf) untuk menuju makna wahyu. Kenyataan itu dapat dilihat dari perbedaan antara Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan lainnya. Imam Abu Hanifah lebih cenderung ke aliran ahl al ra’yi, karena posisinya yang jauh dari Madinah, Sumber Hadits. Imam Malik, lebih konservativ, karena posisi beliau yang di Madinah, dapat meudahkanya memperoleh landasan normatife teks Hadits.
Dalam memahami fiqih, yang perlu dibedakan adalah antar aspek umum?tradisi besar (high taradition) dan aspek khusus/tradisi kecil (little tradition). Problem Masyarakat, maka kajian fiqih juga ikut berkembang. Maka ada proses pembaruan rumusan sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Di dalam ayat-ayat al Qur’an, Islam juga menegaskan bahwa Allah mengnginkan kemudahan bagi umatnya. Maka dengan akal yang dimiliki oleh manusia, Islam memberikan peluang kepada umatnya untuk mengembangkan pemahamannya terhadap ajaran Islam.
Diantara manfaat yang biasa diambil dari kesempatan ini adalah agar ajaran Islam berada dalam daya dan kemampuan manusia, sebab suatu ajaran, termasuk Agama tidak akan berfaedah dan tidak akan membawa perbaikan hidup yang dijanjikan, jika tidak dilaksanakan. Maka untuk membawa kearah itu manusia harus membawanya kedalam dirinya, kedalam lingkaran yang menjadi batas kemampuanya, dan inilah pemahaman.
Mazhab-mazhab merupakan produk atau anak dari zamannya. Kelahiran mazhab-mazhab dapat dipisahkan dari determin-determin historis yang mengitarinya. Mazhab tidak lepas dari budaya Arab dan wilayah yang ditaklukannaya karena salah satu hasil akulturasi dinamis-kreatif antar berbagai factor, baik factor internal maupun eksternal, sehingga memiliki keunikan tersendiri (kearifan lokal).
Tuesday, November 27, 2018
Monday, July 30, 2018
Contoh Silogisme
Contoh Silogisme yg (Simple)
(PU) Andi Mahasiswa UGM atau UI A
(PK) Andi Mahasiswa UGM E
(K) Andi bukan Mahasiswa UI E
(PU) Semua anak sekolah berangkat siang A
(PK) Gilang adalah anak sekolah A
(K) Gilang berangkat siang I
(PU) Semua yang melanggar peraturan harus dihukum
A
(PK) Sebagian tidak melanggar peraturan I
(K) Sebagian tidak dihukum I
(PU) Semua pahlawan adalah orang berjasa A
(PK) Cut nyak dien adalah pahlawan E
(K) Cut nyak dien bukan orang berjasa E
(PU) Semua siswa adalah baik dan sopan A
(PK) Dinda adalah siswa baik E
(K) Dinda bukan siswa sopan E
(PU) Semua guru adalah pengajar dan penulis A
(PK) Sebagian guru adalah pengajar I
(K) Sebagian guru bukan penulis I
(PU) Semua orang adalah pintar A
(PK) Semua mahasiswa adalah pintar A
(K) Sebagian mahasiswa tidak pintar I
(PU) Semua pedagang adalah pekerja A
(PK) Sebagian orang adalah pekerja I
(K) Sebagian orang bukan pedagang I
(PU) Doni
siswa kelas 1 atau 2 A
(PK) Doni adalah siswa kelas 1 E
(K) Doni bukan siswa kelas 2 E
(PU) Semua pesepakbola adalah pemain A
(PK) Semua pemain adalah pesepakbola A
(K) Sebagian pemain bukan pesepakbola I
Pemikiran Holistik Mulla Shadra
Pemikiran
Holistik Mulla Shadra
Di
Susun Oleh: Yulia Rahayu
Khairin
Nisa
Prodi Ilmu Aqidah
Fakultas Ushuluddin Filsafat Dan Politik
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
TA 2017-2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Sampai abad XI filsafat yang
berkembang di dunia Islam bercorak Peripatetis (masysya’i) Neo-Platonisme yang
mencapai puncak kejayaannya di tangan Ibn Sina dan para pengikutnya. Tetapi
pada masa Dinasti Saljuk yang ditandai dengan perkembangan Madrasah Nizamiyah,
posisi filsafat digantikan oleh ilmu kalam, teutama setelah Al-Ghazali
menyerang filsafat lewat bukunya Tahafut al-Falasifah. Sejak itu tradisi
filsafat di dunia Islam timur yang berada di bawah pengaruh Sunni, mengalami
kelesuan, kalau tidak dikatakan hampir mati. Namun di dunia Islam barat,
tepatnya di Andalusia, filsafat masih terus hidup untuk beberapa lama di tangan
Ibn Rusyd. Bersamaan dengan itu, sebenarnya di dunia Islam timur, yang berada
di bawah pengaruh Syi’ah, tradisi intelektual masih tetap hidup, khususnya di
Persia.
Pembentukan tradisi pemikiran Islam
bercorak Syi’ah dan kemunculan tokoh-tokoh
yang berusaha membuat sintesa
atau harmonisasi antara berbagai aliran pemikiran Islam, merupakan dua fenomena
penting sebelum kemunculan Mulla Shadra. Ketika Mulla Shadra muda datang ke
Isfahan, ia memasuki dunia intelektual yang matang dan memiliki akar sejarah
yang panjang. Mulla Shadra mewarisi Khazanah intelektual itu dan mengetahui
secara mendalam ajaran, pendekatan dan masalah-masalah setiap aliran pemikiran.
Akhirnya, dengan penghayatannya yang mendalam tentang tradisi pemikiran Islam
sebagai perspektif intelektual yang terus hidup dan berkembang dan
kesungguhannya dalam memahami keterkaitan doktrin antar aliran pemikiran Islam,
Mulla Shadra berusaha membentuk suatu sintesis dalam dimensi yang baru, yang
dinamakan al-Hikmah al-Muta’aliyah. Sintesis yang dilakukan oleh Mulla
Shadra bukanlah sekedar
menggabungkan teori atau gagasan pemiikiran Islam, melainkan meramunya dalam
perspektif yang belum pernah ada sebelumnya. Nah dalam makalah ini akan di
bahas secara lanjut mengenai pemikiran mulla shadra mengenai al-hikmah al-muta’aliyah.
B.
Rumusan masalah
1. Bagaimanakah
Biografi Mulla Shadra?
2. Apa
definisi dari Holistik?
3. Bagaimana
Filsafat Mulla Shadra tentang Al-Hikmah
Al-Muta’aliyah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Mulla
Shadra
Nama lengkapnya adalah muhammad bin Ibrahim bin yahya al kawami
alsyirazi, yang bergelar shadr al din
dan lebih populer disebut dengan Mulla
Shadra atau shadr Al-Mutaalihin,
dan dikalangan murid-murid serta pengikutnya disebut al-kund. Dia di lahirkan
di syiarz sekitar tahun 1978-80 H/1571-72M. Dalam sebuah keluarga yang cukup berpengaruh
dan terkenal, yaitu keluarga qawam. Ayahnya adalah ibrahim bin yahya al qawami
al syirazi, salah seorang yang berilmu dan shaleh, dan dikatakan pernah
menjabat sebagai gubernur provinsi fars. Secara sosial politik, dia memiliki
kekuasaan yang istimewa di kota asalnya, syiraz.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih
sistematis, kehidupan mulla shadra disusun kedalam tiga periodisasi yang
berkesinambungan dan saling melengkapi satu sama lainnya.
periode
pendidikan formal di syiraz dan isfahan sebagai salah stunya anak laki-laki
dari sebuah keluarga mampu yang sudah lama merindukan kehadirannya, mulla
shadra tumbuh dengan memperoleh perhatian penuh dan pendidikan yang terbaik di
kota kelahirannya. Perlu diketahui bahwa selama berabad-abad sebelum kemunculan
dinasti shafawi, syiraz telah menjadi pusat filsafat islam dan
disiplin-disiplin tradisonal lainnya. Posisi ini terus berlanjut sampai abad ke
10H-16M. Meskipun fungsinya tidak lagi sehebat sebelumnya di dalam tradisi
pendidikan inilah, Mulla Shadra memperoleh pendidikan awalnya. Di sinilah ia
ditempa hingga menguasai bahasa arab dan persia, alquran, hadist, dan berbagai
disiplin ilmu lainnya. Merasa tidak puas atas apa yang telah di
peroleh di syiraz, setelah memperoleh pengalaman yang berguna dari guru-gurunya
di kota itu ia lalu berangkat ke isfahan
untuk menyempurnakan Ilmunya selama di Isfahan Mulla shadra belajar di bawah
bimbingan dua orang guru terkemuka yaitu Syaikh Baha Al. Din Al. Amili
(953-1031H/1546-1622M). Syaikh Baha' Al. Din di kenal juga sebagai Syaikh
Baha'i ia adalah seorang Teolog, sufi, ahli hukum, ahli matematika, arsitek,
filosof, astronom dan penyair. Mulla Shadra belajar dengan penuh semangat
kepada Syaikh Baha'i khususnya dalam ilmu-ilmu keagamaan (al-ulum al-naqliyah).
Karakter dan kepribadian gurunya itu begitu berpengaruh terhadap dirinya yang
madukan antara pengetahuan eksoterik dan esoterik serta menekankan supremasi
intuisi intelektual terhadap pengetahuan diskursif.
Selama periode yang sama, Mulla Shadra
mempelajari ilmu-ilmu intelektual di bawa bimbingan salah seorang filsuf muslim
terbesar dan paling orisinil, yaitu Sayyid Muhammad Baqir Astrabadi, yang lebih
di kenal sebagai Mir Damad, pendiri
aliran Isfahan. Di samping sebagai seorang filosof dia juga seorang teolog,
mistikus dan penyair.
Periode kehidupan asketik dan
penyucian diri di kahak. Keputusan Mulla shadra untuk mengundurkan diri dari
pusat kosmopolitan isfahan menuju kahak disebabkan oleh adanya dorongan dari
dalam dirinya untuk menjalani kehidupan menyendiri sebab, di dalam
kesendirianlah terpenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwa untuk bertemu secara langsung
dengan alam spiritual melalui kontemplasi di mana keheningan batin merupakan
persyaratan dari seluruh kehidupan spritual. Di samping itu, dia juga perlu
menghindari tekanan-tekanan dari luar yang dialaminya ketika itu yaitu serangan
dari para ulama eksoteris akibat mengemukakan doktrin-doktrin gnostik dan
metafisik secara terbuka.
Periode menulis dan mendidik murid-murid di syiras. Oleh karena
kehadiran seorang tokoh besar spiritual tidak bisa dikesampingkan terus dalam
jangka waktu yang lama, mulla shadra akhirnya terdorong oleh desakan sosial
untuk kembali ke kehidupan publik. Syeikh abbas II (1642-1722M), memintanya
agar kembali mengajar, dan Allahwirdi khan, gubernur syiras ketika itu
membangun sebuah lembaga pendidikan di syiras yang dilengkapi dengan sebuah
mesjid besar dan mengundangnya untuk mengajar di sana. Menuruti kehendak syah,
mulla shadra kembali ke kota salnya untuk memulai fase kehidupan terakhirnya.
Selama periode ini, dia menulis sebagian besar karya-karyanya dan mendidik
murid-muridnya.
Di dalam
karirnya sebagai guru, Mulla Shadra telah berhasil melahirkan sejumlah murid
terkemuka yang memiliki peranan penting di dalam aktivitas filosofis di persia pada periode berikutnya. Ada dua
murid paaling terkemuka yang patut disebutkan karena karya-karya mereka masih
tetap di kaji hingga kini, yaitu Mulla Abd Al-Razzaq Lahiji (w. 1072 H/ 1661M)
dan Mulla Muhsin Faidh Kasyani (w. 1091
H/ 1680 M). Lahiji lebih populer di persia karena ia meringkas menggunakan
bahasa persia serta kecenderungan-kecenderungan paripatetik gurunya. Sedangkan
Kasyani lebih menekaankan pada kedua segi pemikiran gurunya, yaitu sisi gnostik
(irfani) dan interpretasi syi’ah
terhadap al-quran tentang yang ghaib sebagai sumber inspirasi. Seluruh tulisan
mulla shadra memiliki nilai tinggi, baik secara intelektual maupun
kesusasteraan. Seluruhnya di tulis dalam bahasa Arab dengan jelas dan lancar,
kecuali Resale se Ashl, yang di tulis
dalam bahasa persia.[1]
Mulla Shadra menulis sekitar 50 buku,
32 diantaranya berbentuk risalah. Yang terbesar sekaligus merupakan magnum
opus-nya adalah al-Hikmah al-Muta’aliyah
fi al-Asrar al-Aqliyah al-Arba’ah (Hikmah Agung tentang Empat Perjalanan
Akal). Karya ini pertama kali terbit tahun 1873 M. terdiri dari 4 jilid besar.
Bagian I membahas tentang soal ontologi, baian II menguraikan substansi dan
aksidensi, bagian III menjelaskan tentang Tuhan dan sifat-sifatnya, bagian IV
menguraikan manusia dan nasibnya. Karya yang lain diantaranya, al-Hikmah al-Arsyiyah (tentang Tuhan dan
eskatologi), Risalah fi ittihad al-aqil wa al-Ma’qul (soal epistemologi),
Ta’liqat ala Syarh Hikmah al-Isyraq (komentar terhadap filsafat iluminatif),
Ta’liqat ala Ilahiyyat Kitab al-Syifa’I (komentar terhadap kitab Asyifa’ Ibnu
Sina), Risalah al-Mazaj (tentang
psikologi), Mafatih al-Ghaib (tentang doktrin gnostik), hudus Al-‘alam (penciptaan
Alam),Kasr Al-Asnam Al-Jahiliyah Fi Daimni Al-Mutawasifin, kolq al-a’mal,
Al-A’mal, Al-Lama’ah Al- masyriqiyyah fi Al-funun Al-Mantiqiyyah (percikan
cahaya illuminasionis dalam seni logika), Al-mabda’ wa Al-Ma’ad (permulaan dan
pengembalian), mofatih Al-Gaib (kunci alam gaib), Kitab Al- masya’ir (kitab
penembus metafisika), Al-Mizaj (tentang prilaku perasaan), mutasyabihat
Al-Quran (ayat-ayat mutasyabihat dalam al-quran), Al-qada wa Al-Qadar fi Af’ali
Al-basyar (kada dan kadar dalam perbuatan manusia, dsb.
B.
Pengertian
Holistik
Istilah holistik merupakan sebuah
peristilahan yang berasal dari bahasa inggris dari akar kata “whole” yang
berarti keseluruhan. Dengan pengambilan makna dasar seperti ini, menurut husein
hariyanto, paradigma holistik dapat diartikan sebagai suatu cara pandang yang
menyeluruh dalam mempersepsi realitas. Berpandangan holistik artinya lebih
memandang aspek keseluruhan dari pada bagian-bagian, bercorak sistematik,
terintegrasi, kompleks, dinamis, non mekanik, dan non linier. Di samping itu,
istilah holistik juga diambil dari kata dasar heal (penyembuhan) dan health
(kesehatan). Secara etimologis, memiliki akar kata yang sama dengan istilah
whole (keseluruhan). Hal ini mengindikasikan bahwa berpikir holistik berarti
berpikir sehat.[2]
Jadi pengertian holistik dari asal kata-asal kata di atas, maka kami
menyimpulkan bahwasanya yang dimaksud holistik disini yaitu pemaknaan terhadap
segala sesuatu yang dipandang menyeluruh, melihat apa yang ada dari apa-apa
yang membuatnya ada. Jadi, tidak terlepas bahwa selalu ada keterkaitan antara
keseluruhan dan setiap bagian yang membentuknya.
C.
Al-Hikmah
Al-Muta’aliyah Mulla Shadra
Dalam Filsafat Mulla Shadra Terdapat
empat aliran berpikir yaitu: aliran Paripatetik, iluminasi, kalam dan tasawuf
tergabung secara sempurna dan melahirkan aliran baru bagi filsafat Mulla Shadra
yang disebut Hikmah Muta’aliyah. Kata
hikmah Identik dengan philosophia,
yang dalam filsafat yunani diartikan sebagai Cinta kepada kebenaran. Muta’aliyah sendiri diartikan diartikan
sebagai yang tertinggi yang melebihi yang lain. Maksud dari pengertian ini
adalah muta’aliyah itu diartikan
sebagai sistem filsafat yang melebihi filsafat paripatetik, iluminasi, dan
gnostik. Jadi Hikmah muta’aliyah
adalah kebijaksanaan yang di peroleh lewat pencerahan rohani, yang di sajikan
dalam bentuk yang rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional. Tujuan dari aliran filsafat ini
ialah untuk mengenal Allah sebagai yang tertinggi, sempurna dan berada di luar
jangkauan alam. Awal kemunculan aliran ini sendiri ialah pada awal abad ke 11.
Walaupun secara metodologis aliran
filsafat hikmah muta’aliyah ini sama dengan empat aliran diatas akan tetapi
pemikiran yang di hasilkannya sedikit berbeda. Artinya aliran filsafat
Al-hikmah muta’aliyah ini telah mampu mengadopsi pemikiran islam secara menyeluruh.
Munculnya aliran baru dalam filsafat islam ini sekaligus menjadi
jembatan bagi pemikiran-pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin agama. Jadi
dalam artian, tidak ada lagi dinding-dinding maupun jurang-jurang pemisah
antara filsafat dengan agama. Justru sebaliknya malah harus menjadi simbiosis
mutualisme. Yah seperti itu penyebutannya dalam biologi, yang artinya harus
saling menguntungkan. Seperti yang diungkapkan oleh ibn rusyd bahwasanya antara
filsafat dengan agama merupakan saudara sesusuan yang berasal dari ibu yang
bernama kebenaran. Mengapa demikian? Karena Filsafat dapat menjadi pengantar
untuk memahami apa-apa maksud yang terkandung didalam alquran sedangkan agama sendiri
mencapai kebenaran wahyu. oke kita kembali kepada mulla shadra. Aliran filsafat
baru mulla shadra ini mendapat sambutan yang baik dari berbagai kalangan, baik
sunni maupun syiah, ahli filsafat maupun para ulama-ulama, fiqh dan sebagainya.
Ada
beberapa sumber dasar yang digunakan mulla shadra dalam membangun filsafat al
hikmah al mutaaliyah, diantaranya alquran, hadist, dan ucapan-ucapan para imam
khususnya imam ali. Di samping sumber-sumber dasar itu al-hikmah al-mutaliyah
ini juga berdiri tegak dengan menggunakan tiga topangan utama yakni Intuisi
intelektual, penalaran rasional dan agama serta wahyu.[3]
Mulla
Shadra meyakini bahwa metode yang paling berhasil untuk mencapai pengetahuan
yang sejati ialah Kasyf. Yang di topang oleh wahyu dan tidak bertentangan
dengan burhan. Di dalam tafsir al-waqiah di jelaskan bagaimana dia
sampai kepada metode seperti itu. Dikemukakan bahwa pada mulanya, dia di
sibukkan dengan pengkajian terhadap buku-buku yang bersifat diskurtif, sehingga
dia merasa bahwa dirinya telah memiliki pengetahuan yang luas. Akan tetapi,
ketika visi spiritualnya mulai terbuka, dia baru menyadari bahwa ternyata
dirinya kosong dari ilmu-ilmu yang sejati dan hakikat yang meyakinkan, sesuatu
yang hanya bisa di peroleh melalui dzauq
dan wijdan. Menurut Mulla shadra
hakikat pengetahuan tidak bisa di peroleh kecuali melalui pengajaran langsung
dari tuhan dan tidak akan terungkap kecuali melalui cahaya kenabian dan
kewalian. Untuk mencapai hal itu di perlukan proses pensucian kalbu dari segala
hawa nafsu, kemudian melatihnya agar tidak terpesona akan kemegahan duniawi. Akan
tetapi, dia menegaskan bahwa yang di peroleh pada tingkat kewalian
sekalipun tidak bisa di terima jika
mustahil menurut akal. Jadi kita dapat mengambil kesimpulan bahwa akal terhadap
pengetahuan yang sejati dan al-burhan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
di pisahkan karena posisinya yang saling bergantungan.[4]
Menurut shadra untuk mengukur kebenaran akal dan menghindarkannya dari
kesalahan di perlukan wahyu. Olehnya itu pengetahuan harus berdasarkan pada agama, dan mereka yang tidak
memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hakikat sesuatu, untuk mencapai
sesuatu untuk memperoleh petunjuk yang benar tidak cukup hanya dengan bertaqlid
kepada keterangan-keterangan agama tetapi juga harus disertai penyelidikan dan
penalaran.
Filsafat mulla shadra sendiri bukanlah
filsafat teologi melainkan menurutnya suatu cabang ilmu yang berusahaa
mempertahankan agama dan keyakinan dari serangan-serangan yang datang dari luar dengan menggunakan argumentasi yang
rasional-filosofis untuk menyangga keyakinan-keyakinan tersebut sehingganya
bagi orang atheis sekalipun sulit untuk membantah keyakinan teologis tersebut.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-hikmah al-muta’aliyah mulla
shadra menampilkan sintesa pemikiran dan menjelaskan pemikiran dengan
bukti-bukti naqli yaitu al-quran dan al-hadis. Memahami filsafat al-hikmah
muta’aliyah mulla shadra ini, bukan hanya percaya pada aakal akan tetapi juga
pada pengalaman mistik. Dalam filsafat mulla shadra yang terdiri dari aliran
berpikir seperti aliraan paripatetik, iluminasi, kalam dan tasawuf, semuanya
tergabung secara sempurna dan melahirkan aliran baru filsafat yang di sebut Hikmah Muta’aliyah, aliran ini walaupun metodologi sama dengan aliran lain tetapi
pemikiran yang di hasilkan sangat berbeda. Karenanya, aliran filsafat ini di
kataakan sebaagai aliran yang berdiri sendiri dan sebuah pandangan dunia baru.
Aliran filsafat mulla shadra mampu menggabungkan antara doktrin islam dengan pemikiran filsafat secara harmonis. Inilah
salah satu kelebihan yang tidak di miliki oleh aliran-aliran filsafat lainnya.
B. Saran
Mohon maaf apabila dalam
penulisan makalah kami masih terdapat banyak kesalahan karena penulis tentu tak
luput dari kesalahan pada penulisan makalah ini oleh karena itu sangat
dibutuhkannya kritik dan saran agar kedepannya dapat menjadi lebih baik lagi.
Demikian makalah yang dapat kami buat semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amin.
[1] Syaifan Nur, Mulla Shadra (pendiri mazhab
al-hikmah al-muta’aliyah) (Bandung: Mizan media utama, cet l, 2003) h,13.
[2] Husain heriyanto, paradigma Holistik (Bandung: MMU,2003)
[3]https://www.google.co.id/url?url=http://download.portalgaruda.org/article.php%3Farticle%3D341805%26val%3D7927%26title%3DALIRAN%2520FILSAFAT%2520ISLAM%2520(AL-HIKMAH%2520AL-MUTA%25C3%25A2%25E2%2582%25AC%25E2%2584%25A2ALIYAH)%2520MULLA%2520SHADRA&rct=j&sa=U&ved=0ahUKEwj6yZmu5NHXAhWBPY8KHUGeAQwQFggnMAE&q=jurnal+tentang+alhikmah+al+mutaaliyah+mulla+shadra&usg=AOvVaw3MUnN9jS62hjZdkQ97CAu2
[4] Murtadha muthahari, pengantar pemikiran shadra (Bandung:
al-mizan, 2002)h, 17
KRITIK TERHADAP MODERENISASI ISLAM
KRITIK-KRITIK TERHADAP MODERENISASI ISLAM
(ISU-ISU KONTEMPORER)
Istilah modern sering kita maknai dengan sesuatu yang baru, maju, tidak kolot dan upto-date. Sedangkan arti moderenisasi adalah proses memperoleh citra (images) baru seperti citra tentang arah perubahan atau citra tentang perkembangan.[1]
Moderenisasi sering dikaitkan dengan globalisasi, industrialisasi, urbanisasi dan sekularisme. Globalisasi merupakan perkembangan pengetahuan dibidang teknologi, komunikasi maupun transportasi yang membuat dunia semakin sempit karena segala sesuatu dapat kita capai dengan mudah. Aziz Al-Azmeh mengkarakteristikkan globalisasi dengan kekuasaan barat sangat erat kaitannya. Globalisasi sering dikatakan sama dengan westernisasai. Padahal keduanya memiliki orientasi yang berbeda. Globalisasi bersifat teknologis sedangkan westernisasi lebih berorientasi pada nilai. Ideologi kaum modernis ini meyakini bahwa pengetahuan bisa memberikan apapun yang diinginkannya menyamakan dengan kekuatan Tuhan.
Moderenisasi juga mengakibatkan industrialisasi, karena mustahil jika globalisasi tidak berdampak pada ekonomi dan kebutuhan kapital yang besar. Industrialisasi modern menjajikan upah yang tinggi untuk menggoda orang-orang pedalaman yang berintegritas baik untuk pindah dari desa ke kota, atau yang sering kita sebut dengan urbanisasi. Perpindahan masyarakat ini menciptakan kerenggangan dalam kekeluargaan yang berakibat kenakalan remaja. Misal si ayah sibuk bekerja, sedangkan ibu memilih untuk menjadi pembantu diluar negeri. Maka si anak akan kurang didikan yang mengakibatkan dampak pada sosial dan psikis nya. Ini membuat si anak merasa tidak dalam pengawasan dan cenderung berbuat sesuka hatinya. Moderenisasi juga berdampak pada bergesernya nilai-nilai agama yang sudah dianut oleh masyarakat selama ini. Masyarakat lebih tertarik untuk mempelajari apa itu moderenisasi tanpa mengimbanginya dengan landasan agama. Orang-orang yang menganut paham moderenisme dipuji dan dianggap maju sedangkan mereka yang tidak mau menganut paham ini dikatakan kuno.
Dalam pandangan islam, moderenisasi barat bukanlah sebuah kejahatan. Islam tetap mencoba menerima kebudayaan barat dengan tetap menjadi muslim yang berintegritas tanpa mengalami perubahan. Islam tidak menolak terhadap moderenisasi. Islam tentunya ingin bersaing juga dengan bangsa lain, maka disetiap negara Islam dianjurkan menerima semua penggunaan pengetahuan modern beserta teknologinya.[2] Tetapi perlu digaris bawahi bahwa moderenisasi juga membawa dampak negatif yang tak kalah besarnya. Nilai-nilai tradisional yang sejak dahulu sudah dipegang oleh masyarakat perlahan mulai hilang. Tentu nilai-nilai inilah yang sangat dibutuhkan masyarakat karena penguatan rasa gotong royong dan solidoritas didalam kehidupan masyarakat tersebut. Dari proses moderenisasi itu terjadi sekularisasi dan melunturkan tradisi keagamaan.[3]
Moderenisasi pemikiran islam mulai muncul pada abad ke-19 dengan latar belakang rezim pemerintahan barat serta terbaginya muslim ke dalam kelompok kebarat-baratan dan muslim tradisional. Dalam masyarakat islam seorang moderenis adalah orang yang tidak puas bahwa islam dipahami secara universal yang dipeluk sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang, mereka beranggapan bahwa hanya islam yang dapat dijadikan ide yang diimport dari Eropa yang secara sadar atau tidak menganggap bahwa hal tersebut lebih tinggi dari islam.[4] Sekelompok orang moderenis juga menafsirkan sumber-sumber islam sesuai dengan kebutuhan kontemporer yang terus berkembang dengan tatanan syariah yang fleksibel. Kaum ini disebut dengan kelompok radikal puritan. Mereka berbendapat bahwa penafsiran harus terus dilakukan sesuai kebutuhan karna dunia yang semakin maju. Mereka mengkritk gagasan-gagasan dan praktik-praktik para kaum tradisonal.[5]
Kaum moderenis sering mengatakan bahwa mereka islam, tetapi menganggap mereka adalah islam yang paling benar dan baik. Mereka menganggap seolah-olah mereka yang bisa menyelamatkan islam dan menafsirkan ajaran-ajaran islam sesuai dengan kebutuhan sekularisme dan meterialisme.
Maryam Jameelah dalam bukunya “Islam dan Moderenisme” berpendapat ada beberapa penyimpangan sejarah islam yang selama ini mereka sebar luaskan :
1> Islam pada zaman Rasululloh dan Khulafaurrasyidin merupakan agama yang rasional. Tetapi dizaman setelahnya islam menjadi agama yang tidak upto-date sehingga para imam dan para ahli agama harus bertanggung jawab atas semua itu.
2> Kitab suci di masa Nabi adalah kitab suci yang modern. Tetapi setelah masa Rasululloh dan sahabat dianggap kitab suci yang kolot dan bersifat tradisional.
>Andilnya orang-orang islam terhadap kebudayaan Eropa karena mereka mengganggap telah memberikan sumbangan yang tanpanya kebudayaan barat tidak mungkin ada dimasa sekarang.
Islam tentu saja akan sesuai dengan zaman dan tidak akan berubah. Hanya saja tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan dan kemajuan teknologi oleh bangsa barat terjadi begitu pesat. Disini islam memiliki tantangan tersendiri untuk selalu kekinian dan upto-date. Berpegang dengan kitab suci yang telah diturunkan maka masyarakat islam akan terus selalu sesuai dengan zamannya.
Yang perlu diketahui dan penulis sendiri menganggap sebenarnya islam tidak serta merta menolak dengan harus tidak menerima moderenisasi. Tetapi juga perlu diingat bahwa harus ada kehati-hatian dalam menyikapi medorenisasi tersebut. Apalagi kalau sudah menyangkut tentang agama dan yang ada didalamnya. Jangan sampai kebudayaan barat dan dampak negatife dari moderenisasi kita adopsi dalam masyarakat islam tanpa dilandasi dengan islam yang kuat. Karna inilah yang bisa menciptakan kaum liberal yang dengan bebas menciptakan hukum dan kaidah-kaidah sesuai dengan pemikiran mereka sendiri.
Subscribe to:
Posts (Atom)