KRITIK-KRITIK
TERHADAP MODERENISASI ISLAM
(ISU-ISU
KONTEMPORER)
Istilah
modern sering kita maknai dengan sesuatu yang baru, maju, tidak kolot dan
upto-date. Sedangkan arti moderenisasi adalah proses memperoleh citra (images)
baru seperti citra tentang arah perubahan atau citra tentang perkembangan.[1]
Moderenisasi sering dikaitkan dengan globalisasi, industrialisasi, urbanisasi
dan sekularisme. Globalisasi merupakan perkembangan pengetahuan dibidang
teknologi, komunikasi maupun transportasi yang membuat dunia semakin sempit karena
segala sesuatu dapat kita capai dengan mudah. Aziz Al-Azmeh
mengkarakteristikkan globalisasi dengan kekuasaan barat sangat erat kaitannya.
Globalisasi sering dikatakan sama dengan westernisasai. Padahal keduanya
memiliki orientasi yang berbeda. Globalisasi bersifat teknologis sedangkan
westernisasi lebih berorientasi pada nilai. Ideologi kaum modernis ini meyakini bahwa pengetahuan bisa memberikan
apapun yang diinginkannya menyamakan dengan kekuatan Tuhan.
Moderenisasi juga mengakibatkan industrialisasi,
karena mustahil jika globalisasi tidak berdampak pada ekonomi dan kebutuhan
kapital yang besar. Industrialisasi modern menjajikan upah yang tinggi untuk
menggoda orang-orang pedalaman yang berintegritas baik untuk pindah dari desa
ke kota, atau yang sering kita sebut dengan urbanisasi. Perpindahan masyarakat
ini menciptakan kerenggangan dalam kekeluargaan yang berakibat kenakalan
remaja. Misal si ayah sibuk bekerja, sedangkan ibu memilih untuk menjadi
pembantu diluar negeri. Maka si anak akan kurang didikan yang mengakibatkan
dampak pada sosial dan psikis nya. Ini membuat si anak merasa tidak dalam
pengawasan dan cenderung berbuat sesuka hatinya. Moderenisasi juga berdampak pada
bergesernya nilai-nilai agama yang sudah dianut oleh masyarakat selama ini.
Masyarakat lebih tertarik untuk mempelajari apa itu moderenisasi tanpa
mengimbanginya dengan landasan agama. Orang-orang yang menganut paham
moderenisme dipuji dan dianggap maju sedangkan mereka yang tidak mau menganut
paham ini dikatakan kuno.
Dalam
pandangan islam, moderenisasi barat bukanlah sebuah kejahatan. Islam tetap mencoba menerima kebudayaan barat dengan tetap
menjadi muslim yang berintegritas tanpa mengalami perubahan. Islam tidak menolak terhadap moderenisasi. Islam
tentunya ingin bersaing juga dengan bangsa lain, maka disetiap negara Islam
dianjurkan menerima semua penggunaan pengetahuan modern beserta teknologinya.[2]
Tetapi perlu digaris bawahi bahwa moderenisasi juga membawa dampak negatif yang
tak kalah besarnya. Nilai-nilai tradisional yang sejak dahulu sudah dipegang
oleh masyarakat perlahan mulai hilang. Tentu nilai-nilai inilah yang sangat
dibutuhkan masyarakat karena penguatan rasa gotong royong dan solidoritas
didalam kehidupan masyarakat tersebut. Dari proses moderenisasi itu terjadi
sekularisasi dan melunturkan tradisi keagamaan.[3]
Moderenisasi
pemikiran islam mulai muncul pada abad ke-19 dengan latar belakang rezim
pemerintahan barat serta terbaginya muslim ke dalam kelompok kebarat-baratan
dan muslim tradisional. Dalam masyarakat islam seorang moderenis adalah orang
yang tidak puas bahwa islam dipahami secara universal yang dipeluk sejak zaman
Nabi Muhammad SAW sampai sekarang, mereka beranggapan bahwa hanya islam yang
dapat dijadikan ide yang diimport dari Eropa yang secara sadar atau tidak menganggap
bahwa hal tersebut lebih tinggi dari islam.[4]
Sekelompok orang moderenis juga menafsirkan sumber-sumber islam sesuai dengan
kebutuhan kontemporer yang terus berkembang dengan tatanan syariah yang
fleksibel. Kaum ini disebut dengan kelompok radikal puritan. Mereka berbendapat
bahwa penafsiran harus terus dilakukan sesuai kebutuhan karna dunia yang
semakin maju. Mereka mengkritk
gagasan-gagasan dan praktik-praktik para kaum tradisonal.[5]
Kaum moderenis sering mengatakan bahwa mereka islam, tetapi menganggap mereka
adalah islam yang paling benar dan baik. Mereka menganggap seolah-olah mereka yang
bisa menyelamatkan islam dan menafsirkan ajaran-ajaran islam sesuai dengan
kebutuhan sekularisme dan meterialisme.
Maryam
Jameelah dalam bukunya “Islam dan Moderenisme” berpendapat ada beberapa penyimpangan sejarah islam yang selama ini
mereka sebar luaskan :
1> Islam pada zaman Rasululloh dan Khulafaurrasyidin merupakan
agama yang rasional. Tetapi dizaman setelahnya islam menjadi agama yang tidak
upto-date sehingga para imam dan para ahli agama harus bertanggung jawab atas
semua itu.
2> Kitab suci di masa
Nabi adalah kitab suci yang modern. Tetapi setelah masa Rasululloh dan sahabat
dianggap kitab suci yang kolot dan bersifat tradisional.
>Andilnya orang-orang islam terhadap kebudayaan Eropa
karena mereka mengganggap telah memberikan sumbangan yang tanpanya kebudayaan
barat tidak mungkin ada dimasa sekarang.
Islam tentu
saja akan sesuai dengan zaman dan tidak akan berubah. Hanya saja tidak dapat
dipungkiri bahwa kebudayaan dan kemajuan teknologi oleh bangsa barat terjadi
begitu pesat. Disini islam memiliki tantangan tersendiri untuk selalu kekinian
dan upto-date. Berpegang dengan kitab suci yang telah diturunkan maka
masyarakat islam akan terus selalu sesuai dengan zamannya.
Yang perlu
diketahui dan penulis sendiri menganggap sebenarnya islam tidak serta merta
menolak dengan harus tidak menerima moderenisasi. Tetapi juga perlu diingat
bahwa harus ada kehati-hatian dalam menyikapi medorenisasi tersebut. Apalagi
kalau sudah menyangkut tentang agama dan yang ada didalamnya. Jangan sampai
kebudayaan barat dan dampak negatife dari moderenisasi kita adopsi dalam
masyarakat islam tanpa dilandasi dengan islam yang kuat. Karna inilah yang bisa menciptakan kaum
liberal yang dengan bebas menciptakan hukum dan kaidah-kaidah sesuai dengan pemikiran
mereka sendiri.
[1] Laurer,
Robert H, Perspektif Tentang Perubahan
Sosial (Terj.) Alimandan SU. (Jakarta: Rineka Cipta, 2003) hal.414
[2] Maryam
Jameelah, Islam dan Moderenisme
(Terj.) A. Jaunuri (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hal.39
[5]
Ibid, hal. 72
No comments:
Post a Comment