Monday, July 30, 2018

Contoh Silogisme


Contoh Silogisme yg (Simple)

(PU)    Andi Mahasiswa UGM atau UI                                A
(PK)    Andi Mahasiswa UGM                                              E
(K)       Andi bukan Mahasiswa UI                                        E

(PU)    Semua anak sekolah berangkat siang                         A         
(PK)    Gilang adalah anak sekolah                                       A
(K)       Gilang berangkat siang                                              I

(PU)    Semua yang melanggar peraturan harus dihukum    A
(PK)    Sebagian tidak melanggar peraturan                          I
(K)       Sebagian tidak dihukum                                            I

(PU)    Semua pahlawan adalah orang berjasa                      A
(PK)    Cut nyak dien adalah pahlawan                                E
(K)       Cut nyak dien bukan orang berjasa                           E

(PU)    Semua siswa adalah baik dan sopan                         A
(PK)    Dinda adalah siswa baik                                           E                                               
(K)       Dinda bukan  siswa sopan                                        E



(PU)    Semua guru adalah pengajar dan penulis                 A
(PK)    Sebagian guru adalah pengajar                                 I                                    
(K)       Sebagian guru bukan penulis                                    I

(PU)    Semua orang adalah pintar                                       A
(PK)    Semua mahasiswa adalah pintar                              A
(K)       Sebagian mahasiswa tidak pintar                             I

(PU)    Semua pedagang adalah pekerja                               A
(PK)    Sebagian orang adalah pekerja                                  I
(K)       Sebagian orang bukan pedagang                              I

(PU)    Doni  siswa kelas 1 atau 2                                         A
(PK)    Doni adalah siswa kelas 1                                         E
(K)       Doni bukan siswa kelas 2                                         E

(PU)    Semua pesepakbola adalah pemain                           A
(PK)    Semua pemain adalah pesepakbola                           A
(K)       Sebagian pemain bukan pesepakbola                        I

Pemikiran Holistik Mulla Shadra


Pemikiran Holistik Mulla Shadra

Di Susun Oleh:    Yulia Rahayu
                                   Khairin Nisa      







Prodi Ilmu Aqidah
Fakultas Ushuluddin Filsafat Dan Politik
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
TA 2017-2018


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
            Sampai abad XI filsafat yang berkembang di dunia Islam bercorak Peripatetis (masysya’i) Neo-Platonisme yang mencapai puncak kejayaannya di tangan Ibn Sina dan para pengikutnya. Tetapi pada masa Dinasti Saljuk yang ditandai dengan perkembangan Madrasah Nizamiyah, posisi filsafat digantikan oleh ilmu kalam, teutama setelah Al-Ghazali menyerang filsafat lewat bukunya Tahafut al-Falasifah. Sejak itu tradisi filsafat di dunia Islam timur yang berada di bawah pengaruh Sunni, mengalami kelesuan, kalau tidak dikatakan hampir mati. Namun di dunia Islam barat, tepatnya di Andalusia, filsafat masih terus hidup untuk beberapa lama di tangan Ibn Rusyd. Bersamaan dengan itu, sebenarnya di dunia Islam timur, yang berada di bawah pengaruh Syi’ah, tradisi intelektual masih tetap hidup, khususnya di Persia.
           Pembentukan tradisi pemikiran Islam bercorak Syi’ah dan kemunculan tokoh-tokoh  yang  berusaha membuat sintesa atau harmonisasi antara berbagai aliran pemikiran Islam, merupakan dua fenomena penting sebelum kemunculan Mulla Shadra. Ketika Mulla Shadra muda datang ke Isfahan, ia memasuki dunia intelektual yang matang dan memiliki akar sejarah yang panjang. Mulla Shadra mewarisi Khazanah intelektual itu dan mengetahui secara mendalam ajaran, pendekatan dan masalah-masalah setiap aliran pemikiran. Akhirnya, dengan penghayatannya yang mendalam tentang tradisi pemikiran Islam sebagai perspektif intelektual yang terus hidup dan berkembang dan kesungguhannya dalam memahami keterkaitan doktrin antar aliran pemikiran Islam, Mulla Shadra berusaha membentuk suatu sintesis dalam dimensi yang baru, yang dinamakan al-Hikmah al-Muta’aliyah. Sintesis yang dilakukan oleh Mulla Shadra  bukanlah sekedar menggabungkan  teori atau gagasan  pemiikiran Islam, melainkan meramunya dalam perspektif yang belum pernah ada sebelumnya. Nah dalam makalah ini akan di bahas secara lanjut mengenai pemikiran mulla shadra mengenai al-hikmah al-muta’aliyah.
         

B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimanakah Biografi Mulla Shadra?
2.      Apa definisi dari Holistik?
3.      Bagaimana Filsafat Mulla Shadra tentang Al-Hikmah Al-Muta’aliyah?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Mulla Shadra
       Nama lengkapnya adalah muhammad bin Ibrahim bin yahya al kawami alsyirazi, yang bergelar shadr al din dan lebih populer disebut dengan Mulla Shadra atau shadr Al-Mutaalihin, dan dikalangan murid-murid serta pengikutnya disebut al-kund. Dia di lahirkan di syiarz sekitar tahun 1978-80 H/1571-72M. Dalam sebuah keluarga yang cukup berpengaruh dan terkenal, yaitu keluarga qawam. Ayahnya adalah ibrahim bin yahya al qawami al syirazi, salah seorang yang berilmu dan shaleh, dan dikatakan pernah menjabat sebagai gubernur provinsi fars. Secara sosial politik, dia memiliki kekuasaan yang istimewa di kota asalnya, syiraz.
       Untuk memperoleh gambaran yang lebih sistematis, kehidupan mulla shadra disusun kedalam tiga periodisasi yang berkesinambungan dan saling melengkapi satu sama lainnya.
            periode pendidikan formal di syiraz dan isfahan sebagai salah stunya anak laki-laki dari sebuah keluarga mampu yang sudah lama merindukan kehadirannya, mulla shadra tumbuh dengan memperoleh perhatian penuh dan pendidikan yang terbaik di kota kelahirannya. Perlu diketahui bahwa selama berabad-abad sebelum kemunculan dinasti shafawi, syiraz telah menjadi pusat filsafat islam dan disiplin-disiplin tradisonal lainnya. Posisi ini terus berlanjut sampai abad ke 10H-16M. Meskipun fungsinya tidak lagi sehebat sebelumnya di dalam tradisi pendidikan inilah, Mulla Shadra memperoleh pendidikan awalnya. Di sinilah ia ditempa hingga menguasai bahasa arab dan persia, alquran, hadist, dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Merasa tidak puas atas apa yang telah di peroleh di syiraz, setelah memperoleh pengalaman yang berguna dari guru-gurunya di kota itu  ia lalu berangkat ke isfahan untuk menyempurnakan Ilmunya selama di Isfahan Mulla shadra belajar di bawah bimbingan dua orang guru terkemuka yaitu Syaikh Baha Al. Din Al. Amili (953-1031H/1546-1622M). Syaikh Baha' Al. Din di kenal juga sebagai Syaikh Baha'i ia adalah seorang Teolog, sufi, ahli hukum, ahli matematika, arsitek, filosof, astronom dan penyair. Mulla Shadra belajar dengan penuh semangat kepada Syaikh Baha'i khususnya dalam ilmu-ilmu keagamaan (al-ulum al-naqliyah). Karakter dan kepribadian gurunya itu begitu berpengaruh terhadap dirinya yang madukan antara pengetahuan eksoterik dan esoterik serta menekankan supremasi intuisi intelektual terhadap pengetahuan diskursif.
                      Selama periode yang sama, Mulla Shadra mempelajari ilmu-ilmu intelektual di bawa bimbingan salah seorang filsuf muslim terbesar dan paling orisinil, yaitu Sayyid Muhammad Baqir Astrabadi, yang lebih di kenal sebagai  Mir Damad, pendiri aliran Isfahan. Di samping sebagai seorang filosof dia juga seorang teolog, mistikus dan penyair.

            Periode kehidupan asketik dan penyucian diri di kahak. Keputusan Mulla shadra untuk mengundurkan diri dari pusat kosmopolitan isfahan menuju kahak disebabkan oleh adanya dorongan dari dalam dirinya untuk menjalani kehidupan menyendiri sebab, di dalam kesendirianlah terpenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwa untuk bertemu secara langsung dengan alam spiritual melalui kontemplasi di mana keheningan batin merupakan persyaratan dari seluruh kehidupan spritual. Di samping itu, dia juga perlu menghindari tekanan-tekanan dari luar yang dialaminya ketika itu yaitu serangan dari para ulama eksoteris akibat mengemukakan doktrin-doktrin gnostik dan metafisik secara terbuka.
      Periode menulis dan mendidik murid-murid di syiras. Oleh karena kehadiran seorang tokoh besar spiritual tidak bisa dikesampingkan terus dalam jangka waktu yang lama, mulla shadra akhirnya terdorong oleh desakan sosial untuk kembali ke kehidupan publik. Syeikh abbas II (1642-1722M), memintanya agar kembali mengajar, dan Allahwirdi khan, gubernur syiras ketika itu membangun sebuah lembaga pendidikan di syiras yang dilengkapi dengan sebuah mesjid besar dan mengundangnya untuk mengajar di sana. Menuruti kehendak syah, mulla shadra kembali ke kota salnya untuk memulai fase kehidupan terakhirnya. Selama periode ini, dia menulis sebagian besar karya-karyanya dan mendidik murid-muridnya.  
      Di dalam karirnya sebagai guru, Mulla Shadra telah berhasil melahirkan sejumlah murid terkemuka yang memiliki peranan penting di dalam aktivitas filosofis  di persia pada periode berikutnya. Ada dua murid paaling terkemuka yang patut disebutkan karena karya-karya mereka masih tetap di kaji hingga kini, yaitu Mulla Abd Al-Razzaq Lahiji (w. 1072 H/ 1661M) dan  Mulla Muhsin Faidh Kasyani (w. 1091 H/ 1680 M). Lahiji lebih populer di persia karena ia meringkas menggunakan bahasa persia serta kecenderungan-kecenderungan paripatetik gurunya. Sedangkan Kasyani lebih menekaankan pada kedua segi pemikiran gurunya, yaitu sisi gnostik (irfani) dan interpretasi syi’ah terhadap al-quran tentang yang ghaib sebagai sumber inspirasi. Seluruh tulisan mulla shadra memiliki nilai tinggi, baik secara intelektual maupun kesusasteraan. Seluruhnya di tulis dalam bahasa Arab dengan jelas dan lancar, kecuali Resale se Ashl, yang di tulis dalam bahasa persia.[1]
         Mulla Shadra menulis sekitar 50 buku, 32 diantaranya berbentuk risalah. Yang terbesar sekaligus merupakan magnum opus-nya adalah al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asrar al-Aqliyah al-Arba’ah (Hikmah Agung tentang Empat Perjalanan Akal). Karya ini pertama kali terbit tahun 1873 M. terdiri dari 4 jilid besar. Bagian I membahas tentang soal ontologi, baian II menguraikan substansi dan aksidensi, bagian III menjelaskan tentang Tuhan dan sifat-sifatnya, bagian IV menguraikan manusia dan nasibnya. Karya yang lain diantaranya, al-Hikmah al-Arsyiyah (tentang Tuhan dan eskatologi), Risalah fi ittihad al-aqil wa al-Ma’qul (soal epistemologi), Ta’liqat ala Syarh Hikmah al-Isyraq (komentar terhadap filsafat iluminatif), Ta’liqat ala Ilahiyyat Kitab al-Syifa’I (komentar terhadap kitab Asyifa’ Ibnu Sina),  Risalah al-Mazaj (tentang psikologi), Mafatih al-Ghaib (tentang doktrin gnostik), hudus Al-‘alam (penciptaan Alam),Kasr Al-Asnam Al-Jahiliyah Fi Daimni Al-Mutawasifin, kolq al-a’mal, Al-A’mal, Al-Lama’ah Al- masyriqiyyah fi Al-funun Al-Mantiqiyyah (percikan cahaya illuminasionis dalam seni logika), Al-mabda’ wa Al-Ma’ad (permulaan dan pengembalian), mofatih Al-Gaib (kunci alam gaib), Kitab Al- masya’ir (kitab penembus metafisika), Al-Mizaj (tentang prilaku perasaan), mutasyabihat Al-Quran (ayat-ayat mutasyabihat dalam al-quran), Al-qada wa Al-Qadar fi Af’ali Al-basyar (kada dan kadar dalam perbuatan manusia, dsb.

B.     Pengertian Holistik
       Istilah holistik merupakan sebuah peristilahan yang berasal dari bahasa inggris dari akar kata “whole” yang berarti keseluruhan. Dengan pengambilan makna dasar seperti ini, menurut husein hariyanto, paradigma holistik dapat diartikan sebagai suatu cara pandang yang menyeluruh dalam mempersepsi realitas. Berpandangan holistik artinya lebih memandang aspek keseluruhan dari pada bagian-bagian, bercorak sistematik, terintegrasi, kompleks, dinamis, non mekanik, dan non linier. Di samping itu, istilah holistik juga diambil dari kata dasar heal (penyembuhan) dan health (kesehatan). Secara etimologis, memiliki akar kata yang sama dengan istilah whole (keseluruhan). Hal ini mengindikasikan bahwa berpikir holistik berarti berpikir sehat.[2] Jadi pengertian holistik dari asal kata-asal kata di atas, maka kami menyimpulkan bahwasanya yang dimaksud holistik disini yaitu pemaknaan terhadap segala sesuatu yang dipandang menyeluruh, melihat apa yang ada dari apa-apa yang membuatnya ada. Jadi, tidak terlepas bahwa selalu ada keterkaitan antara keseluruhan dan setiap bagian yang membentuknya.  
      
C.     Al-Hikmah Al-Muta’aliyah Mulla Shadra
       Dalam Filsafat Mulla Shadra Terdapat empat aliran berpikir yaitu: aliran Paripatetik, iluminasi, kalam dan tasawuf tergabung secara sempurna dan melahirkan aliran baru bagi filsafat Mulla Shadra yang disebut Hikmah Muta’aliyah. Kata hikmah Identik dengan philosophia, yang dalam filsafat yunani diartikan sebagai Cinta kepada kebenaran. Muta’aliyah sendiri diartikan diartikan sebagai yang tertinggi yang melebihi yang lain. Maksud dari pengertian ini adalah muta’aliyah itu diartikan sebagai sistem filsafat yang melebihi filsafat paripatetik, iluminasi, dan gnostik. Jadi Hikmah muta’aliyah adalah kebijaksanaan yang di peroleh lewat pencerahan rohani, yang di sajikan dalam bentuk yang rasional dengan menggunakan argumen-argumen  rasional. Tujuan dari aliran filsafat ini ialah untuk mengenal Allah sebagai yang tertinggi, sempurna dan berada di luar jangkauan alam. Awal kemunculan aliran ini sendiri ialah pada awal abad ke 11.
        Walaupun secara metodologis aliran filsafat hikmah muta’aliyah ini sama dengan empat aliran diatas akan tetapi pemikiran yang di hasilkannya sedikit berbeda. Artinya aliran filsafat Al-hikmah muta’aliyah ini telah mampu mengadopsi pemikiran  islam secara menyeluruh.  
          Munculnya aliran baru dalam filsafat islam ini sekaligus menjadi jembatan bagi pemikiran-pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin agama. Jadi dalam artian, tidak ada lagi dinding-dinding maupun jurang-jurang pemisah antara filsafat dengan agama. Justru sebaliknya malah harus menjadi simbiosis mutualisme. Yah seperti itu penyebutannya dalam biologi, yang artinya harus saling menguntungkan. Seperti yang diungkapkan oleh ibn rusyd bahwasanya antara filsafat dengan agama merupakan saudara sesusuan yang berasal dari ibu yang bernama kebenaran. Mengapa demikian? Karena Filsafat dapat menjadi pengantar untuk memahami apa-apa maksud yang terkandung didalam alquran sedangkan agama sendiri mencapai kebenaran wahyu. oke kita kembali kepada mulla shadra. Aliran filsafat baru mulla shadra ini mendapat sambutan yang baik dari berbagai kalangan, baik sunni maupun syiah, ahli filsafat maupun para ulama-ulama, fiqh dan sebagainya.
          Ada beberapa sumber dasar yang digunakan mulla shadra dalam membangun filsafat al hikmah al mutaaliyah, diantaranya alquran, hadist, dan ucapan-ucapan para imam khususnya imam ali. Di samping sumber-sumber dasar itu al-hikmah al-mutaliyah ini juga berdiri tegak dengan menggunakan tiga topangan utama yakni Intuisi intelektual, penalaran rasional dan agama serta wahyu.[3]
         Mulla Shadra meyakini bahwa metode yang paling berhasil untuk mencapai pengetahuan yang sejati ialah Kasyf. Yang di topang oleh wahyu dan tidak bertentangan dengan burhan. Di dalam tafsir al-waqiah di jelaskan bagaimana dia sampai kepada metode seperti itu. Dikemukakan bahwa pada mulanya, dia di sibukkan dengan pengkajian terhadap buku-buku yang bersifat diskurtif, sehingga dia merasa bahwa dirinya telah memiliki pengetahuan yang luas. Akan tetapi, ketika visi spiritualnya mulai terbuka, dia baru menyadari bahwa ternyata dirinya kosong dari ilmu-ilmu yang sejati dan hakikat yang meyakinkan, sesuatu yang hanya bisa di peroleh melalui dzauq dan wijdan. Menurut Mulla shadra hakikat pengetahuan tidak bisa di peroleh kecuali melalui pengajaran langsung dari tuhan dan tidak akan terungkap kecuali melalui cahaya kenabian dan kewalian. Untuk mencapai hal itu di perlukan proses pensucian kalbu dari segala hawa nafsu, kemudian melatihnya agar tidak terpesona akan kemegahan duniawi. Akan tetapi, dia menegaskan bahwa yang di peroleh pada tingkat kewalian sekalipun  tidak bisa di terima jika mustahil menurut akal. Jadi kita dapat mengambil kesimpulan bahwa akal terhadap pengetahuan yang sejati dan al-burhan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan karena posisinya yang saling bergantungan.[4] Menurut shadra untuk mengukur kebenaran akal dan menghindarkannya dari kesalahan di perlukan wahyu. Olehnya itu pengetahuan harus  berdasarkan pada agama, dan mereka yang tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hakikat sesuatu, untuk mencapai sesuatu untuk memperoleh petunjuk yang benar tidak cukup hanya dengan bertaqlid kepada keterangan-keterangan agama tetapi juga harus disertai penyelidikan dan penalaran.
         Filsafat mulla shadra sendiri bukanlah filsafat teologi melainkan menurutnya suatu cabang ilmu yang berusahaa mempertahankan agama dan keyakinan dari serangan-serangan yang datang  dari luar dengan menggunakan argumentasi yang rasional-filosofis untuk menyangga keyakinan-keyakinan tersebut sehingganya bagi orang atheis sekalipun sulit untuk membantah keyakinan teologis tersebut.







































BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

     Al-hikmah al-muta’aliyah mulla shadra menampilkan sintesa pemikiran dan menjelaskan pemikiran dengan bukti-bukti naqli yaitu al-quran dan al-hadis. Memahami filsafat al-hikmah muta’aliyah mulla shadra ini, bukan hanya percaya pada aakal akan tetapi juga pada pengalaman mistik. Dalam filsafat mulla shadra yang terdiri dari aliran berpikir seperti aliraan paripatetik, iluminasi, kalam dan tasawuf, semuanya tergabung secara sempurna dan melahirkan aliran baru filsafat yang di sebut Hikmah Muta’aliyah, aliran ini  walaupun metodologi sama dengan aliran lain tetapi pemikiran yang di hasilkan sangat berbeda. Karenanya, aliran filsafat ini di kataakan sebaagai aliran yang berdiri sendiri dan sebuah pandangan dunia baru. Aliran filsafat mulla shadra mampu menggabungkan antara doktrin islam dengan pemikiran filsafat secara harmonis. Inilah salah satu kelebihan yang tidak di miliki oleh aliran-aliran filsafat lainnya.


B.     Saran

              Mohon maaf apabila dalam penulisan makalah kami masih terdapat banyak kesalahan karena penulis tentu tak luput dari kesalahan pada penulisan makalah ini oleh karena itu sangat dibutuhkannya kritik dan saran agar kedepannya dapat menjadi lebih baik lagi. Demikian makalah yang dapat kami buat semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.



[1] Syaifan Nur, Mulla Shadra (pendiri mazhab al-hikmah al-muta’aliyah) (Bandung: Mizan media utama, cet l, 2003) h,13.
[2] Husain heriyanto, paradigma Holistik (Bandung: MMU,2003)
[3]https://www.google.co.id/url?url=http://download.portalgaruda.org/article.php%3Farticle%3D341805%26val%3D7927%26title%3DALIRAN%2520FILSAFAT%2520ISLAM%2520(AL-HIKMAH%2520AL-MUTA%25C3%25A2%25E2%2582%25AC%25E2%2584%25A2ALIYAH)%2520MULLA%2520SHADRA&rct=j&sa=U&ved=0ahUKEwj6yZmu5NHXAhWBPY8KHUGeAQwQFggnMAE&q=jurnal+tentang+alhikmah+al+mutaaliyah+mulla+shadra&usg=AOvVaw3MUnN9jS62hjZdkQ97CAu2
[4] Murtadha muthahari, pengantar pemikiran shadra (Bandung: al-mizan, 2002)h, 17

KRITIK TERHADAP MODERENISASI ISLAM


KRITIK-KRITIK TERHADAP MODERENISASI ISLAM
(ISU-ISU KONTEMPORER)

            Istilah modern sering kita maknai dengan sesuatu yang baru, maju, tidak kolot dan upto-date. Sedangkan arti moderenisasi adalah proses memperoleh citra (images) baru seperti citra tentang arah perubahan atau citra tentang perkembangan.[1] 

              Moderenisasi sering dikaitkan dengan globalisasi, industrialisasi, urbanisasi dan sekularisme. Globalisasi merupakan perkembangan pengetahuan dibidang teknologi, komunikasi maupun transportasi yang membuat dunia semakin sempit karena segala sesuatu dapat kita capai dengan mudah. Aziz Al-Azmeh mengkarakteristikkan globalisasi dengan kekuasaan barat sangat erat kaitannya. Globalisasi sering dikatakan sama dengan westernisasai. Padahal keduanya memiliki orientasi yang berbeda. Globalisasi bersifat teknologis sedangkan westernisasi lebih berorientasi pada nilai. Ideologi kaum modernis ini  meyakini bahwa pengetahuan bisa memberikan apapun yang diinginkannya menyamakan dengan kekuatan Tuhan.  

       Moderenisasi juga mengakibatkan industrialisasi, karena mustahil jika globalisasi tidak berdampak pada ekonomi dan kebutuhan kapital yang besar. Industrialisasi modern menjajikan upah yang tinggi untuk menggoda orang-orang pedalaman yang berintegritas baik untuk pindah dari desa ke kota, atau yang sering kita sebut dengan urbanisasi. Perpindahan masyarakat ini menciptakan kerenggangan dalam kekeluargaan yang berakibat kenakalan remaja. Misal si ayah sibuk bekerja, sedangkan ibu memilih untuk menjadi pembantu diluar negeri. Maka si anak akan kurang didikan yang mengakibatkan dampak pada sosial dan psikis nya. Ini membuat si anak merasa tidak dalam pengawasan dan cenderung berbuat sesuka hatinya. Moderenisasi juga berdampak pada bergesernya nilai-nilai agama yang sudah dianut oleh masyarakat selama ini. Masyarakat lebih tertarik untuk mempelajari apa itu moderenisasi tanpa mengimbanginya dengan landasan agama. Orang-orang yang menganut paham moderenisme dipuji dan dianggap maju sedangkan mereka yang tidak mau menganut paham ini dikatakan kuno.

            Dalam pandangan islam, moderenisasi barat bukanlah sebuah kejahatan. Islam tetap  mencoba menerima kebudayaan barat dengan tetap menjadi muslim yang berintegritas tanpa mengalami perubahan.  Islam tidak menolak terhadap moderenisasi. Islam tentunya ingin bersaing juga dengan bangsa lain, maka disetiap negara Islam dianjurkan menerima semua penggunaan pengetahuan modern beserta teknologinya.[2] Tetapi perlu digaris bawahi bahwa moderenisasi juga membawa dampak negatif yang tak kalah besarnya. Nilai-nilai tradisional yang sejak dahulu sudah dipegang oleh masyarakat perlahan mulai hilang. Tentu nilai-nilai inilah yang sangat dibutuhkan masyarakat karena penguatan rasa gotong royong dan solidoritas didalam kehidupan masyarakat tersebut. Dari proses moderenisasi itu terjadi sekularisasi dan melunturkan tradisi keagamaan.[3]

            Moderenisasi pemikiran islam mulai muncul pada abad ke-19 dengan latar belakang rezim pemerintahan barat serta terbaginya muslim ke dalam kelompok kebarat-baratan dan muslim tradisional. Dalam masyarakat islam seorang moderenis adalah orang yang tidak puas bahwa islam dipahami secara universal yang dipeluk sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang, mereka beranggapan bahwa hanya islam yang dapat dijadikan ide yang diimport dari Eropa yang secara sadar atau tidak menganggap bahwa hal tersebut lebih tinggi dari islam.[4] Sekelompok orang moderenis juga menafsirkan sumber-sumber islam sesuai dengan kebutuhan kontemporer yang terus berkembang dengan tatanan syariah yang fleksibel. Kaum ini disebut dengan kelompok radikal puritan. Mereka berbendapat bahwa penafsiran harus terus dilakukan sesuai kebutuhan karna dunia yang semakin maju.  Mereka mengkritk gagasan-gagasan dan praktik-praktik para kaum tradisonal.[5]           
               Kaum moderenis sering mengatakan bahwa mereka islam, tetapi menganggap mereka adalah islam yang paling benar dan baik. Mereka menganggap seolah-olah mereka yang bisa menyelamatkan islam dan menafsirkan ajaran-ajaran islam sesuai dengan kebutuhan sekularisme dan meterialisme.

            Maryam Jameelah dalam bukunya “Islam dan Moderenisme” berpendapat ada beberapa  penyimpangan sejarah islam yang selama ini mereka sebar luaskan :
1> Islam pada zaman Rasululloh dan Khulafaurrasyidin merupakan agama yang rasional. Tetapi dizaman setelahnya islam menjadi agama yang tidak upto-date sehingga para imam dan para ahli agama harus bertanggung jawab atas semua itu.
2> Kitab suci di masa Nabi adalah kitab suci yang modern. Tetapi setelah masa Rasululloh dan sahabat dianggap kitab suci yang kolot dan bersifat tradisional.                                                       
 >Andilnya orang-orang islam terhadap kebudayaan Eropa karena mereka mengganggap telah memberikan sumbangan yang tanpanya kebudayaan barat tidak mungkin ada dimasa sekarang.

Islam tentu saja akan sesuai dengan zaman dan tidak akan berubah. Hanya saja tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan dan kemajuan teknologi oleh bangsa barat terjadi begitu pesat. Disini islam memiliki tantangan tersendiri untuk selalu kekinian dan upto-date. Berpegang dengan kitab suci yang telah diturunkan maka masyarakat islam akan terus selalu sesuai dengan zamannya.

Yang perlu diketahui dan penulis sendiri menganggap sebenarnya islam tidak serta merta menolak dengan harus tidak menerima moderenisasi. Tetapi juga perlu diingat bahwa harus ada kehati-hatian dalam menyikapi medorenisasi tersebut. Apalagi kalau sudah menyangkut tentang agama dan yang ada didalamnya. Jangan sampai kebudayaan barat dan dampak negatife dari moderenisasi kita adopsi dalam masyarakat islam tanpa dilandasi dengan islam yang kuat.  Karna inilah yang bisa menciptakan kaum liberal yang dengan bebas menciptakan hukum dan kaidah-kaidah sesuai dengan pemikiran mereka sendiri.



[1] Laurer, Robert H, Perspektif Tentang Perubahan Sosial (Terj.) Alimandan SU. (Jakarta: Rineka Cipta, 2003) hal.414
[2] Maryam Jameelah, Islam dan Moderenisme (Terj.) A. Jaunuri (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hal.39
[3] Andrew Rippin, Muslim (New York: Routledge, 1993), hal.19
[4] Maryam Jameelah, Islam. Hal.70
[5] Ibid, hal. 72