Pemikiran Sayyid Hossein Nasr
Abstrak
Dalam
tulisan ini memaparkan tentang Sayyed Hossein Nasr dengan
berbagai pemikirannya menunjukkan bahwa tuduhan para orang-orang orientalis
terhadap kegiatan intelektual orang Islam terlalu banyak memiliki kekurangan
dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Sayyid Hossein Nasr merupakan salah
seorang filsuf tradisionalis. Ia berkeinginan untuk menggeser peradaban
intelektual modern dalam peradaban intelektual tradisional.
Pendahuluan
Salah
satu penyebab terbesar yang telah menghantam keras umat Islam akhir-akhir ini
ialah persoalan tentang intelektualisme Islam yang mulai redup sehingga menjadi
tantangan tersendiri dewasa ini bagi semua pihak yang berada dalam garis
demokrasi Islam. Itulah merupakan pendapat-pendapat yang sering dimunculkan
oleh orang-orang yang berlainan arah perjuangan dengan umat Islam. Terkait
dengan adanya paradigma kaum orientalis ini tidak saja terkesan objektis akan
tetapi juga memiliki dampak yang sangat serius. Apalagi ini berkenaan dengan
perspektif dan penyikapan umat Islam belakangan ini terhadap dimensi-dimensi
intelektual. Dalam hal seperti ini Sayyed Hossein Nasr dengan berbagai
pemikirannya menunjukkan bahwa tuduhan para orang-orang orientalis terhadap
kegiatan intelektual orang Islam terlalu banyak memiliki kekurangan dan tidak
dapat dipertanggung jawabkan. Pemikiran Sayyid Hossein Nasr tentang Islam
tradisional tradisi Islam yang berada di tengah modenitas merupakan kritik
terhadap pola pikir modernitas yang lebih mengangunggkan atau mementinggkan
rasionalitas dalam segala hal. Menurut Sayyid Hossein Nasr tentang Islam
tradisional yaitu bahwa pola pikir yang demikian akan membawa manusia kepada
keterambangan dan juga tidak punya tujuan hingga menjadikan hidup manusia jauh
dari kebahagiaan.
Sayyid Hossein Nasr merupakan salah satu orang yang sudah
sekian lama hidup dan juga akrab dengan dunia modern tetapi ia masih tetap
teguh dengan pendiriannya dan juga tidak tertipu dengan kemajuan semu peradaban
modern. Ia merupakan salah seorang yang menggelorakan semangat pembaharuan
(tajdid) yaitu seruan agar umat Islam tidak tertipu oleh peradaban orang Barat
dan kembali pada nilai-nilai yangsesuai dengan tradisi Islam yang berlandaskan
oleh al-Qur’an dan al-Hadits. Semangat pembaharuan atau tajdid ini yang
kemudian kita kenal dalam bahasa Sayyid Hossein Nasr yang disebut dengan Islam
tradisi.
Biografi Sayyid Hossein Nasr
Sayyid
Hossein Nasr terlahir pada tanggal 17 April 1933 di kota Toheren yang terletak
di Iran. Ia dibesarkan dalam keluarga ulama Syi’ah. Ayah dari Sayyid Hossein
Nasr bernama Sayyid Vailullah Nasr, ayahnya terkenal sebagai ulama, dokter dan
juga sebagai pendidik pada masa dinasti Qajar. Sayyid Hossein nasr merupakan
seorang filosof tradisionalis, beliau ingin menggeser peradaban intelektual
modern dengan matrik intelektual tradisional. Ia hidup dalam dua tradisi, yaitu
Islam tradisional dan juga modernitas Barat. Ia pernah mendapat pendidikan
Barat modern di Institut Teknologi Massachussets dan juga di Universitas
Harvard.[1]
Sayyid
Hossein Nasr mendapat pendidikan dasarnya di Toheren, Iran yang masih sangat melekat kuat di dalamnya
nilai-nilai Islam tradisional. Setelah itu ia pindah ke Qum untuk mempelajari
tentang ilmu kalam, tasawuf, dan juga tentang filsafat.[2]
Setelah dari Qum ia memilih untuk melanjutkan pendidikannya di Massachusetts
Institute of Technology (MIT) disini ia belajar tentang ilmu-ilmu fisika dan
juga matematika teoritis yang dibawah bimbingan Bertrand Russel, Russel
terkenal sebagai seorang filsuf modern. Dan disini ia banyak memperoleh
pengetahuan tentang filsafat modern. Selain berada dibawah bimbingan Russel ia
juga bertemu denga seorang ahli metafisika yaitu Georgio De Suntillana. Dari kedua
filsuf yang terkenal ini akhirnya Sayyid Hossein Nasr mendapatkan banyak
pengetahuan dan juga informasi mengenai filsafat timur terlebih khusus yang
berhubungan langsung dengan metafisika. Disini juga ia mendapatkan gelar B. S dan
juga M. A dalam bidang fisika. Setelah itu ia melanjutkan studinya di Harvard
University Amerika Serikat, disini ia menulis disertasi yang berjudul sejarah
ilmu pengetahun yang dibimbing oleh George Sarton, tetapi sebelum disertasinya
selesai George Sarton meninggal dunia dan akhirnya digantikan oleh tiga orang
professor yang bernama Bernard Cohen, Hammilton Gib, dan Harry Wolson yang akan
membimbingnya dalam penulisan disertasinya. Disertasinya ini selesai dengan
judul “ Conceptions of Nature in Islamic
Thougt” yang akhirnya dipublikasikan oleh pihak Harvard University Press
pada tahun 1964 dengan diberi judul “An
Introduction to Islamic Cosmological Dectrines”. Dengan disertai selesai
disertasinya akhirnya ia mendapat gelar Philosophy of Doctor (Ph. D) dalam
usianya yang masih sangat muda yaitu ketika ia berusia 25 tahun yang bertepatan
pada tahun 1958.[3]
Setelah kembali dirinya dari Harvard University ia kembali ke Iran dan mengajar
di Universitas Teheran, disini ia mengajar sejarah sains dan juga Filsafat
Islam. Tidak hanya sebagai Dosen di Universitas Teheran Sayyid Hossein Nasr
juga dipercayai memangku jabatan sebagai pembantu Rektor Universitas Teheran
pada tahun 1970-1971. Setelah itu ia diangkat menjadi konselor Arymehr
University of Technology Teheran sampai ia meninggalkan Iran disaat menjelang
meletusnya revolusi Islam Iran pada tahun 1979.[4]
Karya-karya Sayyid Hossein Nasr
Sayyid
Hossein Nasr merupakan salah satu tokoh filosof yang sangat produktif dalam
mewadahi semua pemikiran yang dimilikinya, banyak karya-karyanya yang dijadikan
sebagai rujukan pemikiran atau pembelajaran para ilmuwan, tetapi pembahasan
terhadap karya-karya Sayyid Hossein Nasr dalam bagian ini tidak akan
dicantumkan disini semuanya, karena sebagian besar karya-karyanya yang ada
dalam bentuk jurnal ataupun dalam bentuk artikel banyak yang bermuara dari
buku-buku berikut, diantaranya ialah:
1. An
Introduction to Islamic Cosmological Doctrin: Conseption of Nature and Methodes
Used for Study by Ikhwan ash-Shafa, al-Biruni and Ibn Sina (1964)
2. Three
Muslim Sages: Ibn-Sina, suhrawardi, dan Ibn-Arabi (1961-1962)
3. Science
and Ciriization in Islam (1968)
4. Idealis
and Realitas of Islam (1964-1965)
5. Man
and Nature (1968)
6. Islam
and the Plight of Modern Man (1975)
7. Sufi
Essays (1972)
8. Knowledge
and the Sacred (1981)
9. Islamic
Life and Though (1981)
10. Traditional
Islam in the Modern World (1987)
11. Islam,
Art and Spritually (1987)
12. The
Need for Sacred Science (1993)
13. A
young Muslim Guide to the Modern World
14. The
Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (2002)
15. Islam:
Religion, History, and Civilization (2003)
Dari beberapa
buku yang disebutkan diatas sumber-sumber pemikiran Sayyid Hossein Nasr dalam
dimensi perennial banyak sekali diperbincangkan mulai dari konsepsinya akan
makna Islam yang universal dan dengan pesan-pesannya untuk kemanusiaan dan juga
dengan dilemma manusia modern dan juga alternative untuk keluar dari dilemma
itu sendiri Sayyid Hossein Nasr telah membahasnya dalam beberapa bukunya yang
telah disebutkan diatas tersebut.[5]
Pemikiran-pemikiran Sayyid Hossein
Nasr
Hakikat Pengetahuan
Jika
berbicara tentang masalah pengetahuan tidak akan lepas dengan adanya istilah
tradisi. Karena pengetahuan dan tradisi itu memiliki hubungan yang sangat erat,
bisa dikatakan pengetahuan berada dalam setiap jantung tradisi sedangkan tradisi
itu berasal dari agama. Tradisi bisa disebut juga ad-Din dalam pengertian yang
luas yang mencakup semua aspek agama dan peradabannya, dan bisa juga disebut
as-sunnah karena apa yang didasarkan pada mode-mode sacral, dan juga bisa
diartikan sebagai as-silsilah yang artinya mata rantai yang mengkaitkan setiap
periode, episode atau tahapan kehidupan dan juga pemikiran dunia tradisional
kepada Tuhan.[6]
Secara etimologi kata tradisi berkenaan dengan transmisi pengetahuan,
hokum-hukum, teknik-teknik dan lain-lain baik secara lisan ataupun secara
tulisan. Pemaknaan tradisi lebih diarahkan kepada hikmah perennial dibandingkan
dengan yang lainnya, yakni terdapat dalam jantung semua agama. Hikmah abadi ini
merupakan unsur pertama dari penyusunan tradisi, dan hikmah abadi (shopia
parennis) berkaitan dengan konsep tradisi promodial yaitu tentang eksistensi
manusia. Bentuk-bentuk pewahyuan tersebut merupakan perwujudan tradisi
promodial dalam dimensi manusiawi yaitu dalam bentuk-bentuk yang sesuai dengan
lingkungan kontekstual tertentu dari manusia yang menjadi tujuan pewahyuan
tersebut.[7]
Sayyid Hossein Nasr sependapat dengan pendapatnya Steuco yang mengatakan bahwa
hikmah abadi itu berasal dari yang asal Ilahi yaitu pengetahuan sacral yang
telah diberikan oleh Tuhan kepada Adam, tetapi semakin banyaknya jumlah manusia
pengetahuan menjadi kabur dan pada akhirnya tidak lebih dari sekedar mimpi atau
dongeng.[8]
Bisa diambil kesimpulan dari penjelasan tersebut bahwa pengetahuan memiliki
hubungan dengan realitas promodial yang emrupakan kesucian dan sumber dari
segala yang suci, pengetahuan tentang realitas itu merupakan sebstansi yang
paling tinggi oleh sebab itu pada hakikatnya pengetahuan itu suci atau bisa
disebut juga dengan scientia sacra.
Konstruksi Modernitas Sayyid
Hossein Nasr
Pendapat
Sayyid Hossein Nasr masyarakat modern merupakan sekelompok manusia yang sudah
tertata dalam struktur intelektualnya melalui premis-premis positivistik tanpa
mencoba untuk mencari garis penghubung antara manusia dan alam. Implikasinya
manusia dan alam saling bersaing untuk membentuk struktur alamnya sendiri.
Akibatnya akhir-akhir ini manusia hidup dalam arus urbanisasi yang selalu
merasakan pengapnya alam karena hilangnya kepekaan intuitif manusia terhadap
fenomena alam di sekitarnya. Manusia seperti kehilangan kebebasannya untuk
bergerak dan juga berekspresi akibat eksploitasi manusia sendiri terhadap alam
sekitar, akibatnya manusia modern seperti hidup di luar eksistensi dirinya
sendiri. Ia juga berpendapat bahwa manusia modern itu tidak hanya mempunyai
ciri positivistic, akan tetapi mereka selalu mengeksploitasi alam semesta
dengan bertindak seenaknya saja terhadapnya. Kondisi seperti ini diperparah
dengan kecenderungan manusia yang serba mempermudah hidup dengan bantuan
berbagai penggunaan teknologi yang pastinya memberikan dampek meningkatnya
polusi. Akan tetapi berbeda dengan rangkaian pemikiran modernisme masyarakat
Timur, menurut mereka bangunan modernitas tidaklah merupakan sebuah ancaman
yang mematikan terhadap fenomena alam. Sayyid Hossein Nasr beranggapan bahwa
antara modernitas dengan Islam terjalin sebuah sinergi kehidupan spiritual dan
juga social. Islam merupakan agama wahyu dan sumber utamanya adalah al-Qur’an
dan ketika diturunkannya ia berbicara dalam konteks local Arab. Ketika Islam
tersebar diseluruh penjuru dunia, maka Islam akan bersentuhan dengan berbagai
pola pandangan yang berbeda pula. Oleh sebab itulah Nasr berpendapat bahwa
wahyu dalam al-Qur’an menjadi akar yang mengokohkan dimensi keberislaman itu
sendiri. Medernitas merupakan rintisan gaya hidup yang matrealistik dan hedonis
dalam kubangan doktrin humanism. Konsekuensi logis dari pemikiran ini ialah
pengendali utama realitas kehidupan adalah manusia. Sikap yang seperti itu
menurut Nasr telah mendistorsi hakikat terdalam manusia. Menurutnya deminsi
kemanusiaan manusia terletak pada relasi manusia dengan dunia yang transenden
nan jauh disana sehingga apabila ingin membangun elan vital kehidupan tidak
lain harus dimulai dari asumsi yang sacred seperti ini.
Tradisionalisme ala Nasr:Membendung
Arus Modernitas
Kerangka
mpdernitas sebenarnya menyisakan persoalan kemanusiaan yang sampai saat ini
belum tuntas. Akhirnya konsep modernitas bergulir bagaikan sebuah bencana yang
melanda seluruh kehidupan masyarakatnya. Gelombang besar modernitas juga
menyentuh apa yang disebut dengan dar al-Islam. Nasr memetakan modernitas
sebagai gelombang yang melanda belahan dunia Islam yang juga menjangkau
ekonomi, astronomi, dan juga seluruh persoalan hidup manusia. Akhirnya dalam
lingkaran arus modernitas umat Islam di suluh dunia berada dalam kekacauan
matrealisme dan juga humanism yang di gagas sebagai landasan utama dari
modernitas. Sehingga seiring berjalannya waktu keteguhan iman akan tergerus
akibat munculnya modernitas. Akan tetapi persoalan terbesar yang sampai kini
tidak terselesaikan dengan baik dalam modernitas ialah terpisahnya alam fisik
dan metafisik, spiritual dari yang material. Akibatnya gagasan pandangan dunia
manusia modern ialah bagaimana mengunggulkan materi dan mengesampingkan
spiritualitas. Menurut Nasr sesuatu yang harus diperhitungkan dengan seksama
adalah bagaimana menyatukan dua sudut pandang yang diktomis ini. Sehingga ciri
utama modernitas yang awalnya matrealistis beralih dengan mengoptimalisir ruang
kebudayaan yang nantinya dapat memberikan kenyamanan di ruang spiritual.
Pandangan Nasr terhadap tradisionalitas, ia melihat bahwa tradisionalitas itu
merupakan sebuah konsep yang terbangun sebagai landasan kebijakan seseorang
yang hidup ditengah himpitan modernitas. Itu arinya tradisi tidak hanya sebuah
pengetahuan semata melainkan ia juga dapat mengurai kerusakan system bangunan
modernitas dengan memberikan solusi-solusi yang bijak dalam proses kehidupan.
Tradisionalitas merupakan pengandaian terciptanya the sacred wisdom dengan
memberi respon positif atas
berkembangnya arus modernitas yang dalam beberapa sisi dapat merusakalam
pikiran manusia. Dalam gagasan tradisionalitas Nasr, ia beranggapan sangat
mungkin manusia modern kembali kepada metafisika klasik dalam memahami
sakralitas dan transendensi alam ini. Bagi Nasr inilah sebuah langkah untuk
mewujudkan filsafat alam ini, yaitu dengan kembali kepada bangunan filsafat
parrenial. Parenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan
spiritual sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Nasr beranggapan bahwa
manusia modern telah jatuh dan berada diluar eksistensinya. Dan solusinya
adalah Barat perlu melihat keunggulan[9]
Kesimpulan
Sayyid
Hossein Nasr merupakan seorang filosof tradisionalis, beliau ingin menggeser
peradaban intelektual modern dengan matrik intelektual tradisional.Sayyid
Hossein Nasr merupakan salah satu orang yang sudah sekian lama hidup dan juga
akrab dengan dunia modern tetapi ia masih tetap teguh dengan pendiriannya dan
juga tidak tertipu dengan kemajuan semu peradaban modern.Pemikiran Sayyid
Hossein Nasr tentang Islam tradisional tradisi Islam yang berada di tengah modenitas
merupakan kritik terhadap pola pikir modernitas yang lebih mengangunggkan atau
mementinggkan rasionalitas dalam segala hal.
Daftar Rujukan
Encung. “Tradisi dan Modernitas
Perspektif Seyyed Hossein Nasr”, Teosofi:
Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam. Vol. 2, No. 1, 2012.
Haryati, Tri Astutik. “Modernitas
dalam Prospektif Seyyed Hossein Nasr”.Jurnal
Penelitian, Vol. 8, No. 2, 2011.
http://wikipedia.org
Khudori Sholeh.Pemikiran Islam Kontemporer, 2003.
Maksum, Ali.Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme
Islam” Sayyed Hossein Nasr. Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2003.
Mehdi Aminrazavi dan Zailan
Moris.The Complete Bibliografi of Sayyid
Hossein Nasr from 1958 through 1993. Kuala Lumpur:t.p, 1994.
Nasr, Seyyed Hossein. Pengetahuan dan kesucian, terj.
Suharsono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Nasr, Seyyed Hossein.Islam Tradisi (Ditengah Kancah Dunia
Modern), terj. Lukman Hakim. Bandung: Pustaka, 1994.
[1]Mehdi Aminrazavi dan Zailan
Moris, The Complete Bibliografi of Sayyid
Hossein Nasr from 1958 through 1993, (Kuala Lumpur:t.p, 1994), xiii.
[2]Khudori Sholeh, Pemikiran Islam Kontemporer, 2003, 37.
[3]http://wikipedia.org
[4] Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme
Islam” Sayyed Hossein Nasr
(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2003), 46.
[5] Tri Astutik Haryati, “Modernitas
dalam Prospektif Seyyed Hossein Nasr”, Jurnal
Penelitian, Vol. 8, No. 2, 2011, 314-315.
[6]Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi (Ditengah Kancah Dunia
Modern), terj. Lukman Hakim (Bandung: Pustaka, 1994), 3.
[7]Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan kesucian, terj.
Suharsono (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 78.
[8]Ibid, 80.
[9] Encung, “Tradisi dan Modernitas
Perspektif Seyyed Hossein Nasr”, Teosofi:
Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 2, No. 1 (2012), 210-213.
No comments:
Post a Comment