Tuesday, May 14, 2019

Pemikiran Sayyid Hossein Nasr



Pemikiran Sayyid Hossein Nasr


 
Abstrak
Dalam tulisan ini memaparkan tentang Sayyed Hossein Nasr dengan berbagai pemikirannya menunjukkan bahwa tuduhan para orang-orang orientalis terhadap kegiatan intelektual orang Islam terlalu banyak memiliki kekurangan dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Sayyid Hossein Nasr merupakan salah seorang filsuf tradisionalis. Ia berkeinginan untuk menggeser peradaban intelektual modern dalam peradaban intelektual tradisional.
Pendahuluan
            Salah satu penyebab terbesar yang telah menghantam keras umat Islam akhir-akhir ini ialah persoalan tentang intelektualisme Islam yang mulai redup sehingga menjadi tantangan tersendiri dewasa ini bagi semua pihak yang berada dalam garis demokrasi Islam. Itulah merupakan pendapat-pendapat yang sering dimunculkan oleh orang-orang yang berlainan arah perjuangan dengan umat Islam. Terkait dengan adanya paradigma kaum orientalis ini tidak saja terkesan objektis akan tetapi juga memiliki dampak yang sangat serius. Apalagi ini berkenaan dengan perspektif dan penyikapan umat Islam belakangan ini terhadap dimensi-dimensi intelektual. Dalam hal seperti ini Sayyed Hossein Nasr dengan berbagai pemikirannya menunjukkan bahwa tuduhan para orang-orang orientalis terhadap kegiatan intelektual orang Islam terlalu banyak memiliki kekurangan dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Pemikiran Sayyid Hossein Nasr tentang Islam tradisional tradisi Islam yang berada di tengah modenitas merupakan kritik terhadap pola pikir modernitas yang lebih mengangunggkan atau mementinggkan rasionalitas dalam segala hal. Menurut Sayyid Hossein Nasr tentang Islam tradisional yaitu bahwa pola pikir yang demikian akan membawa manusia kepada keterambangan dan juga tidak punya tujuan hingga menjadikan hidup manusia jauh dari kebahagiaan. 
Sayyid Hossein Nasr merupakan salah satu orang yang sudah sekian lama hidup dan juga akrab dengan dunia modern tetapi ia masih tetap teguh dengan pendiriannya dan juga tidak tertipu dengan kemajuan semu peradaban modern. Ia merupakan salah seorang yang menggelorakan semangat pembaharuan (tajdid) yaitu seruan agar umat Islam tidak tertipu oleh peradaban orang Barat dan kembali pada nilai-nilai yangsesuai dengan tradisi Islam yang berlandaskan oleh al-Qur’an dan al-Hadits. Semangat pembaharuan atau tajdid ini yang kemudian kita kenal dalam bahasa Sayyid Hossein Nasr yang disebut dengan Islam tradisi.
Biografi Sayyid Hossein Nasr
            Sayyid Hossein Nasr terlahir pada tanggal 17 April 1933 di kota Toheren yang terletak di Iran. Ia dibesarkan dalam keluarga ulama Syi’ah. Ayah dari Sayyid Hossein Nasr bernama Sayyid Vailullah Nasr, ayahnya terkenal sebagai ulama, dokter dan juga sebagai pendidik pada masa dinasti Qajar. Sayyid Hossein nasr merupakan seorang filosof tradisionalis, beliau ingin menggeser peradaban intelektual modern dengan matrik intelektual tradisional. Ia hidup dalam dua tradisi, yaitu Islam tradisional dan juga modernitas Barat. Ia pernah mendapat pendidikan Barat modern di Institut Teknologi Massachussets dan juga di Universitas Harvard.[1]
Sayyid Hossein Nasr mendapat pendidikan dasarnya di Toheren, Iran  yang masih sangat melekat kuat di dalamnya nilai-nilai Islam tradisional. Setelah itu ia pindah ke Qum untuk mempelajari tentang ilmu kalam, tasawuf, dan juga tentang filsafat.[2] Setelah dari Qum ia memilih untuk melanjutkan pendidikannya di Massachusetts Institute of Technology (MIT) disini ia belajar tentang ilmu-ilmu fisika dan juga matematika teoritis yang dibawah bimbingan Bertrand Russel, Russel terkenal sebagai seorang filsuf modern. Dan disini ia banyak memperoleh pengetahuan tentang filsafat modern. Selain berada dibawah bimbingan Russel ia juga bertemu denga seorang ahli metafisika yaitu Georgio De Suntillana. Dari kedua filsuf yang terkenal ini akhirnya Sayyid Hossein Nasr mendapatkan banyak pengetahuan dan juga informasi mengenai filsafat timur terlebih khusus yang berhubungan langsung dengan metafisika. Disini juga ia mendapatkan gelar B. S dan juga M. A dalam bidang fisika. Setelah itu ia melanjutkan studinya di Harvard University Amerika Serikat, disini ia menulis disertasi yang berjudul sejarah ilmu pengetahun yang dibimbing oleh George Sarton, tetapi sebelum disertasinya selesai George Sarton meninggal dunia dan akhirnya digantikan oleh tiga orang professor yang bernama Bernard Cohen, Hammilton Gib, dan Harry Wolson yang akan membimbingnya dalam penulisan disertasinya. Disertasinya ini selesai dengan judul “ Conceptions of Nature in Islamic Thougt” yang akhirnya dipublikasikan oleh pihak Harvard University Press pada tahun 1964 dengan diberi judul “An Introduction to Islamic Cosmological Dectrines”. Dengan disertai selesai disertasinya akhirnya ia mendapat gelar Philosophy of Doctor (Ph. D) dalam usianya yang masih sangat muda yaitu ketika ia berusia 25 tahun yang bertepatan pada tahun 1958.[3] Setelah kembali dirinya dari Harvard University ia kembali ke Iran dan mengajar di Universitas Teheran, disini ia mengajar sejarah sains dan juga Filsafat Islam. Tidak hanya sebagai Dosen di Universitas Teheran Sayyid Hossein Nasr juga dipercayai memangku jabatan sebagai pembantu Rektor Universitas Teheran pada tahun 1970-1971. Setelah itu ia diangkat menjadi konselor Arymehr University of Technology Teheran sampai ia meninggalkan Iran disaat menjelang meletusnya revolusi Islam Iran pada tahun 1979.[4]

Karya-karya Sayyid Hossein Nasr
            Sayyid Hossein Nasr merupakan salah satu tokoh filosof yang sangat produktif dalam mewadahi semua pemikiran yang dimilikinya, banyak karya-karyanya yang dijadikan sebagai rujukan pemikiran atau pembelajaran para ilmuwan, tetapi pembahasan terhadap karya-karya Sayyid Hossein Nasr dalam bagian ini tidak akan dicantumkan disini semuanya, karena sebagian besar karya-karyanya yang ada dalam bentuk jurnal ataupun dalam bentuk artikel banyak yang bermuara dari buku-buku berikut, diantaranya ialah:
1.      An Introduction to Islamic Cosmological Doctrin: Conseption of Nature and Methodes Used for Study by Ikhwan ash-Shafa, al-Biruni and Ibn Sina (1964)
2.      Three Muslim Sages: Ibn-Sina, suhrawardi, dan Ibn-Arabi (1961-1962)
3.      Science and Ciriization in Islam (1968)
4.      Idealis and Realitas of Islam (1964-1965)
5.      Man and Nature (1968)
6.      Islam and the Plight of Modern Man (1975)
7.      Sufi Essays (1972)
8.      Knowledge and the Sacred (1981)
9.      Islamic Life and Though (1981)
10.  Traditional Islam in the Modern World (1987)
11.  Islam, Art and Spritually (1987)
12.  The Need for Sacred Science (1993)
13.  A young Muslim Guide to the Modern World
14.  The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (2002)
15.  Islam: Religion, History, and Civilization (2003)
Dari beberapa buku yang disebutkan diatas sumber-sumber pemikiran Sayyid Hossein Nasr dalam dimensi perennial banyak sekali diperbincangkan mulai dari konsepsinya akan makna Islam yang universal dan dengan pesan-pesannya untuk kemanusiaan dan juga dengan dilemma manusia modern dan juga alternative untuk keluar dari dilemma itu sendiri Sayyid Hossein Nasr telah membahasnya dalam beberapa bukunya yang telah disebutkan diatas tersebut.[5]

Pemikiran-pemikiran Sayyid Hossein Nasr

Hakikat Pengetahuan
Jika berbicara tentang masalah pengetahuan tidak akan lepas dengan adanya istilah tradisi. Karena pengetahuan dan tradisi itu memiliki hubungan yang sangat erat, bisa dikatakan pengetahuan berada dalam setiap jantung tradisi sedangkan tradisi itu berasal dari agama. Tradisi bisa disebut juga ad-Din dalam pengertian yang luas yang mencakup semua aspek agama dan peradabannya, dan bisa juga disebut as-sunnah karena apa yang didasarkan pada mode-mode sacral, dan juga bisa diartikan sebagai as-silsilah yang artinya mata rantai yang mengkaitkan setiap periode, episode atau tahapan kehidupan dan juga pemikiran dunia tradisional kepada Tuhan.[6] Secara etimologi kata tradisi berkenaan dengan transmisi pengetahuan, hokum-hukum, teknik-teknik dan lain-lain baik secara lisan ataupun secara tulisan. Pemaknaan tradisi lebih diarahkan kepada hikmah perennial dibandingkan dengan yang lainnya, yakni terdapat dalam jantung semua agama. Hikmah abadi ini merupakan unsur pertama dari penyusunan tradisi, dan hikmah abadi (shopia parennis) berkaitan dengan konsep tradisi promodial yaitu tentang eksistensi manusia. Bentuk-bentuk pewahyuan tersebut merupakan perwujudan tradisi promodial dalam dimensi manusiawi yaitu dalam bentuk-bentuk yang sesuai dengan lingkungan kontekstual tertentu dari manusia yang menjadi tujuan pewahyuan tersebut.[7] Sayyid Hossein Nasr sependapat dengan pendapatnya Steuco yang mengatakan bahwa hikmah abadi itu berasal dari yang asal Ilahi yaitu pengetahuan sacral yang telah diberikan oleh Tuhan kepada Adam, tetapi semakin banyaknya jumlah manusia pengetahuan menjadi kabur dan pada akhirnya tidak lebih dari sekedar mimpi atau dongeng.[8] Bisa diambil kesimpulan dari penjelasan tersebut bahwa pengetahuan memiliki hubungan dengan realitas promodial yang emrupakan kesucian dan sumber dari segala yang suci, pengetahuan tentang realitas itu merupakan sebstansi yang paling tinggi oleh sebab itu pada hakikatnya pengetahuan itu suci atau bisa disebut juga dengan scientia sacra.

Konstruksi Modernitas Sayyid Hossein Nasr
Pendapat Sayyid Hossein Nasr masyarakat modern merupakan sekelompok manusia yang sudah tertata dalam struktur intelektualnya melalui premis-premis positivistik tanpa mencoba untuk mencari garis penghubung antara manusia dan alam. Implikasinya manusia dan alam saling bersaing untuk membentuk struktur alamnya sendiri. Akibatnya akhir-akhir ini manusia hidup dalam arus urbanisasi yang selalu merasakan pengapnya alam karena hilangnya kepekaan intuitif manusia terhadap fenomena alam di sekitarnya. Manusia seperti kehilangan kebebasannya untuk bergerak dan juga berekspresi akibat eksploitasi manusia sendiri terhadap alam sekitar, akibatnya manusia modern seperti hidup di luar eksistensi dirinya sendiri. Ia juga berpendapat bahwa manusia modern itu tidak hanya mempunyai ciri positivistic, akan tetapi mereka selalu mengeksploitasi alam semesta dengan bertindak seenaknya saja terhadapnya. Kondisi seperti ini diperparah dengan kecenderungan manusia yang serba mempermudah hidup dengan bantuan berbagai penggunaan teknologi yang pastinya memberikan dampek meningkatnya polusi. Akan tetapi berbeda dengan rangkaian pemikiran modernisme masyarakat Timur, menurut mereka bangunan modernitas tidaklah merupakan sebuah ancaman yang mematikan terhadap fenomena alam. Sayyid Hossein Nasr beranggapan bahwa antara modernitas dengan Islam terjalin sebuah sinergi kehidupan spiritual dan juga social. Islam merupakan agama wahyu dan sumber utamanya adalah al-Qur’an dan ketika diturunkannya ia berbicara dalam konteks local Arab. Ketika Islam tersebar diseluruh penjuru dunia, maka Islam akan bersentuhan dengan berbagai pola pandangan yang berbeda pula. Oleh sebab itulah Nasr berpendapat bahwa wahyu dalam al-Qur’an menjadi akar yang mengokohkan dimensi keberislaman itu sendiri. Medernitas merupakan rintisan gaya hidup yang matrealistik dan hedonis dalam kubangan doktrin humanism. Konsekuensi logis dari pemikiran ini ialah pengendali utama realitas kehidupan adalah manusia. Sikap yang seperti itu menurut Nasr telah mendistorsi hakikat terdalam manusia. Menurutnya deminsi kemanusiaan manusia terletak pada relasi manusia dengan dunia yang transenden nan jauh disana sehingga apabila ingin membangun elan vital kehidupan tidak lain harus dimulai dari asumsi yang sacred seperti ini.

Tradisionalisme ala Nasr:Membendung Arus Modernitas
Kerangka mpdernitas sebenarnya menyisakan persoalan kemanusiaan yang sampai saat ini belum tuntas. Akhirnya konsep modernitas bergulir bagaikan sebuah bencana yang melanda seluruh kehidupan masyarakatnya. Gelombang besar modernitas juga menyentuh apa yang disebut dengan dar al-Islam. Nasr memetakan modernitas sebagai gelombang yang melanda belahan dunia Islam yang juga menjangkau ekonomi, astronomi, dan juga seluruh persoalan hidup manusia. Akhirnya dalam lingkaran arus modernitas umat Islam di suluh dunia berada dalam kekacauan matrealisme dan juga humanism yang di gagas sebagai landasan utama dari modernitas. Sehingga seiring berjalannya waktu keteguhan iman akan tergerus akibat munculnya modernitas. Akan tetapi persoalan terbesar yang sampai kini tidak terselesaikan dengan baik dalam modernitas ialah terpisahnya alam fisik dan metafisik, spiritual dari yang material. Akibatnya gagasan pandangan dunia manusia modern ialah bagaimana mengunggulkan materi dan mengesampingkan spiritualitas. Menurut Nasr sesuatu yang harus diperhitungkan dengan seksama adalah bagaimana menyatukan dua sudut pandang yang diktomis ini. Sehingga ciri utama modernitas yang awalnya matrealistis beralih dengan mengoptimalisir ruang kebudayaan yang nantinya dapat memberikan kenyamanan di ruang spiritual. Pandangan Nasr terhadap tradisionalitas, ia melihat bahwa tradisionalitas itu merupakan sebuah konsep yang terbangun sebagai landasan kebijakan seseorang yang hidup ditengah himpitan modernitas. Itu arinya tradisi tidak hanya sebuah pengetahuan semata melainkan ia juga dapat mengurai kerusakan system bangunan modernitas dengan memberikan solusi-solusi yang bijak dalam proses kehidupan. Tradisionalitas merupakan pengandaian terciptanya the sacred wisdom dengan memberi respon positif atas  berkembangnya arus modernitas yang dalam beberapa sisi dapat merusakalam pikiran manusia. Dalam gagasan tradisionalitas Nasr, ia beranggapan sangat mungkin manusia modern kembali kepada metafisika klasik dalam memahami sakralitas dan transendensi alam ini. Bagi Nasr inilah sebuah langkah untuk mewujudkan filsafat alam ini, yaitu dengan kembali kepada bangunan filsafat parrenial. Parenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Nasr beranggapan bahwa manusia modern telah jatuh dan berada diluar eksistensinya. Dan solusinya adalah Barat perlu melihat keunggulan[9]

Kesimpulan
Sayyid Hossein Nasr merupakan seorang filosof tradisionalis, beliau ingin menggeser peradaban intelektual modern dengan matrik intelektual tradisional.Sayyid Hossein Nasr merupakan salah satu orang yang sudah sekian lama hidup dan juga akrab dengan dunia modern tetapi ia masih tetap teguh dengan pendiriannya dan juga tidak tertipu dengan kemajuan semu peradaban modern.Pemikiran Sayyid Hossein Nasr tentang Islam tradisional tradisi Islam yang berada di tengah modenitas merupakan kritik terhadap pola pikir modernitas yang lebih mengangunggkan atau mementinggkan rasionalitas dalam segala hal.

Daftar Rujukan
Encung. “Tradisi dan Modernitas Perspektif Seyyed Hossein Nasr”, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam. Vol. 2, No. 1, 2012.
Haryati, Tri Astutik. “Modernitas dalam Prospektif Seyyed Hossein Nasr”.Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, 2011.
http://wikipedia.org
Khudori Sholeh.Pemikiran Islam Kontemporer, 2003.
Maksum, Ali.Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme Islam” Sayyed Hossein Nasr. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2003.
Mehdi Aminrazavi dan Zailan Moris.The Complete Bibliografi of Sayyid Hossein Nasr from 1958 through 1993. Kuala Lumpur:t.p, 1994.
Nasr, Seyyed Hossein. Pengetahuan dan kesucian, terj. Suharsono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Nasr, Seyyed Hossein.Islam Tradisi (Ditengah Kancah Dunia Modern), terj. Lukman Hakim. Bandung: Pustaka, 1994.




[1]Mehdi Aminrazavi dan Zailan Moris, The Complete Bibliografi of Sayyid Hossein Nasr from 1958 through 1993, (Kuala Lumpur:t.p, 1994), xiii.
[2]Khudori Sholeh, Pemikiran Islam Kontemporer, 2003, 37.
[3]http://wikipedia.org
[4] Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme Islam” Sayyed Hossein Nasr (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2003), 46.
[5] Tri Astutik Haryati, “Modernitas dalam Prospektif Seyyed Hossein Nasr”, Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, 2011, 314-315.
[6]Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi (Ditengah Kancah Dunia Modern), terj. Lukman Hakim (Bandung: Pustaka, 1994), 3.
[7]Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan kesucian, terj. Suharsono (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 78.
[8]Ibid, 80.
[9] Encung, “Tradisi dan Modernitas Perspektif Seyyed Hossein Nasr”, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 2, No. 1 (2012), 210-213.

No comments:

Post a Comment